HAKIM MENURUT KACAMATA ISLAM
Oleh : Awaluddin *)
Oleh : Awaluddin *)
Allah SWT. Berfirman dalam Surat Annisa’ Ayat 135:
“Wahai orang-orang
yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang
benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah SWT. Biarpun terhadap dirimu sendiri, atau
Ibu Bapakmu dan
Kaum Kerabatmu,
jika Ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya.Maka janganlah kamu
mengikuti Hawa Napsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah SWT. Adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” ( Q.S.
Annisa’ 135)
Rasulullah SAW bersabda dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
“Wahai Manusia, ketahuilah sesungguhnya kehancuran
ummat
terdahulu
sebelum kamu lantaran apabila
yang mencuri itu “Orang yang Terpandang” mereka
tinggalkan hukumnya (hukum
tidak berdaya untuk
menghukumnya), sebaliknya jika yang mencuri itu dari kalangan
“Rakyat Jelata”, mereka secara tegas menerapkan hukuman. Demi
Allah SWT. Jika FATIMAH BINTI MUHAMMAD
(Anakku sendiri) mencuri, “PASTI” akan aku potong tangannya” (Hadits
Riwayat Imam Bukhari).
FATWA Khalifah UMAR BIN KHATTAB kepada QADHI di Kufah “Abu Musa Al-
Asy’ari”.
“Samakan kedudukan manusia itu dalam majelismu, pada wajahmu, pada tindak lakumu
dan dalam Putusanmu, supaya yang kaya
tidak menganggap “Wajar Ketidak Adilanmu”, dan
yang Miskin dan Lemah “tidak Berputus Asa terhadap Putusanmu”.
Firman Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, Sabda Rasulullah SAW. Dalam Al-Hadits dan
Fatwa Amirul Mukminin
yang termaktub diatas
dengan gamblang menjelaskan “Kaedah-kaedah
Penegakan Hukum didalam Islam dan Rasulullah SAW serta para Shahabatnya telah pula
memberikan “Tauladan (Uswah)” secara langsung tentang penyelesaian
terhadap kasus-kasus
hukum yang dihadapi pada masanya;
Sungguh
suatu Uswah yang sangat muliya dan Briliyan
untuk bagaimana seorang Hakim
agar senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Kebenaran, Keadilan
dan
Kemandirian didalam
menjalankan tugasnya dalam penyelesaian terhadap kasus-kasus yang diadili. Karena tanpa nilai
Kebenaran, Keadilan dan Kemandirian, maka Profesionalisme jabatan Hakim menjadi bernuansa materialistis
dan
pragmatis, bukan bernuansa penjaga dan penegak keadilan bagi
masyarakat;
Jika nilai materialisme dan pragmatisme
mewarnai profisionalisme
hakim,
maka Ide “Negara yang berdasarkan Hukum” tinggal
cita-cita. Jika demikian, maka wibawa Pengadilan
terus merosot dan negara berjalan atas dasar kekuasaan, karena itu tantangan hakim kedepan
adalah “bagaimana menata kelembagaan dan tradisi Pengadilan yang mencerminkan “Akhlaq
Rasulullah SAW” sebagai panutan Agung dalam menegakkan keadilan dan mampu bersikap
serta menegakkan Etos
kerja seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab;
Mengapa kedudukan hakim menjadi sangat strategis dan urgen serta Muliya didalam
Islam ?, Tidak lain karena hakim mengemban amanat sebagai “Penyambung Titah Allah
SWT. Dan Rasulnya dimuka
Bumi” dan juga menggali nilai-nilai hukum khususnya hukum Islam
yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
Ketika
memutus perkara,
para hakim harus bersikap adil dengan tetap menghormati manusia sebagai
seorang hamba dan Khalifatullah
dimuka bumi, bukan sebagai Obyek hukum.
OLah karena itu sudah seharusnya hakim menjadi “USWATUN HASANAH” (model hakim
yang benar, adil dan mandiri) seperti
yang dicontohkan oleh
Rasulullah
SAW, dengan
demikian citra Pengadilan dan wibawa hakim dapat diperbaiki,
kepastian hukum dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan
negara tetap berjalan diatas dasar
hukum bukan diatas dasar
kekuasaan;
Dalam kerangka demikian itu, maka peran hakim menjadi strategis, ia tidak hanya menggali ilmu hukum dari
pengalaman Empiris dan menjadi model hakim yang dapat dicontoh
(Uswah) oleh masyarakat, tetapi juga sebagai
pembaru citra lembaga Peradilan
dan
kepastian hukum bagi para pencari keadilan. “Ia tidak hanya mengerjakan pekerjaan rutinnya memutus
perkara, tetapi
juga
senantiasa melakukan repleksi
teoritis dan abstraksi empiris secara terus menerus
sehingga dapat
melahirkan “Ijtihad” yang inopatif dalam pembangunan hukum di Negara yang kita cintai ini”.
Kaitan dengan kata Ijtihad, dijelaskan didalam kitab “Mukhtashar Syarhis
Sunnah: bahwa
sesungguhnya tidak boleh bagi selain orang Mujtahid untuk menduduki jabatan Hakim, dan tidak
boleh
bagi kepala Negara untuk mengangkat Hakim selain dari orang yang Mujtahid. Dalam
kitab yang sama dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Mujtahid adalah “Orang yang
menghimpun
(menguasai) lima macam ilmu yaitu Kitabullah
(Al-Qur’an), Sunnah Rasulullah SAW.(Al-Hadits), Ijma’ para ulama salaf baik yang sudah sepakati maupun yang belum
(berselisih paham), menguasai bahasa arab yang berhubungan dengan hukum dan menguasai
Qiyas;
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan
Pemerintah (Harun Arrasyid). Untuk itu harus dijamin oleh Undang-undang tentang kedudukan
dari
hakim itu sendiri,
lembaganya, dengan
tujuan agar
didalam menjalankan
tugas
dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, hakim sesuai dengan perinsip Independent of judiciary harus bersifat mandiri tidak boleh ada intervensi dari lembaga – lembaga lain apalagi oleh Pemerintah/penguasa, hal ini diatur didalam penjelasan pasal 24 UUD 1945, dan sekarang
dalam amandenmen pasal 24 ayat (1) dan didalam Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman;
Namun demikian kekuasaan yang dimaksud adalah bukanlah kekuasaan yang mutlak, sehingga
menghalalkan segala cara didalam memutus perkara –
perkara yang ditanganinya.
Kontrol IMAN adalah garda depan yang wajib dimiliki oleh seorang hakim sebagai kontrol
terhadap
tugas-tugas institusionalnya
pada saat berada dan
menjalankan
fungsinya sebagai
hakim;
Seorang hakim wajib memiliki integritas (keutuhan
pribadi) moral
yang luhur, dalam bentuk kejujuran dan
kepribadian yang
baik. Dalam
melaksanakan tugas-tugasnya seorang hakim harus pada prinsip Iman, Islam dan Ihsan, sebab ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain, karena dari
sinilah lahirnya etika moral untuk dijadikan pedoman dan pegangan bagi
dirinya; Orang yang memiliki
Iman yang kuat akan memilki harga diri yang kuat pula dan
tidak akan melakukan perbuatan yang dilarang
oleh agama, ia
tidak akan bisa diguncang oleh segala sesuatu yang berkaitan dengan profisinya itu. Dengan perinsip Ihsa n yang tertanam
dalam diri seorang hakim berarti ia akan merasa bahwa segala yang dilakukannya itu selalu dalam pengeliatan dan pengawasan Allah SWT. Dan hal ini akan membawa dampak
positif dalam kehidupannya terutama didalam menjalankan tugasnya sebagai hakim,
dengan selalu merasa dilihat dan diawasi olah Allah
SWT. maka ia tidak akan
pernah lepas dari kendali dan dengan sendirinya tingkah lakunya selalu
baik, tidak akan melakukan
hal-hal
yang melanggar etika apalagi yang bertentang dengan hukum;
Meskipun hakim memiliki intlektualitas dan profisionalisme yang tinggi, tetapi
tidak didukung oleh
Integritas moral yang baik seperti
yang dijelaskan diatas, maka intlektualitas dan profisionalisme yang dimiliki oleh seorang hakim tidak akan punya arti apa-apa, justru dengan intlektualitas
dan
profisionalisme yang dia miliki itu akan dijadikan alat untuk melakukan hal-hal
yang tidak terpuji dan melanggar hukum;
Dalam kaitan ini
bahwa etika profesi hakim yang didalamnya terdapat integritas moral
merupakan alat untuk menegakkan citra, wibawa dan martabat hakim Indonesia (H.R.Purwoto S.Gandasubrata);
Selain itu kaitannya
dengan integritas
moral yang harus dimiliki
hakim dalam
menjalankan
tugasnya , Rasulullah
SAW. Pernah bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Arba’ah
dan disahkan
oleh Ibnu Khusaimah
dan Ibnu Hibban sebagai berikut : “Hakim itu ada tiga golongan, yang
satu
golongan akan masuk Syurga dan dua golongan
lainnya akan masuk
Neraka. Golongan
hakim yang akan masuk
Syurga
adalah hakim yang memenuhi persyaratan intlektualitas, profesionalisme dan memiliki moral yang baik serta
memutus
perkara dengan baik dan benar
sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya.
Sedangkan satu golongan hakim yang masuk
Neraka adalah hakim yang memiliki ilmu pengetahuan/intlektual dan profisionalisme yang tinggi, tetapi dia tidak memutus perkara
dengan tuntunan Allah dan Rasulnya tetapi dia memutus perkara dengan hawa nafsunya. Dan satu golongan
lagi hakim yang akan masuk
Neraka
adalah hakim yang bodoh, tidak
memiliki ilmu pengetahuan yang cukup dan tidak memiliki profesionalisme dalam bidang
tugasnya serta memutus
perkara dengan kebodohannya”
Didalam hadits lain Rasulullah SAW. Bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan Arba’ah : “Barang siapa yang mau diangkat menjadi hakim, berarti dia telah merelakan
dirinya untuk disembelih dengan tanpa pisau”;
Dari tulisan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Hakim yang muslim wajib hukumnya untuk selalu dan senantiasa berpegang teguh dengan
ketentuan – ketentuan Allah
SWT. Didalam Al-Qur’anul Karim, dengan
Sunnah Rasulullah SAW dan Ijmaknya para Shahabat Nabi didalam menjalankan
profesinya sebagai hakim.
2. Hakim
senantiasa dituntut untuk meningkatkan intlektualitas dan profesionalisme
keilmuannya . semua
itu
terangkum dalam
sifat Siddiq, Amanah,
Tablig dan
Fathanah;
3. Wibawa hukum dan kepastian hukum adalah buah atau hasil
dari pelaksanaan atau penegakan hukum yang benar, adil dan mandiri, wibawa dan kepastian hukum
tidak berdiri sendiri, ia hanya ganjaran atas baiknya penegakan hukum.
4. Apabila hukum ditegakkan sesuai dengan perinsip-perinsip dan kaidah-kaidah seperti
yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para Shahabatnya, maka wibawa dan kepastian hukum pasti akan dapat ditegakkan; SEMOGA !!! AAMIN.
Sumber pustaka:
1. Depag RI.
Tahun.1974 ”Terjemahan Al-Qur’anulkarim”
2. Drs.Abubakar Muhammad “Terjemahan Subulussalam”
3. Drs.Amrullah Ahmad dkk.”Dimensi hukum Islam dalam sisten hukum Nasional”
4. Drs.H.Abdul Manan,SH,S.IP,M.Hum ”Hakim Peradilan
Agama Hakim dimata Hukum Ulama’ dimata
Ummat.
*) hakim PA Ende NTT.