Powered By Blogger

Senin, 24 Oktober 2016

Hakim


HAKIM MENURUT KACAMATA ISLAM

Oleh : Awaluddin *)



Allah SWT. Berfirman dalam Surat Annisa Ayat 135:

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah SWT. Biarpun terhadap dirimu sendiri, atau Ibu Bapakmu dan Kaum Kerabatmu, jika Ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.Maka janganlah kamu mengikuti Hawa Napsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika  kamu memutar balikkan  (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah SWT. Adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” ( Q.S. Annisa 135)


Rasulullah SAW bersabda dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

Wahai Manusia, ketahuilah sesungguhnya kehancuran ummat terdahulu sebelum kamu lantaran apabila yang mencuri itu Orang yang Terpandang” mereka tinggalkan hukumnya (hukum tidak berdaya untuk menghukumnya), sebaliknya jika yang mencuri itu dari kalangan Rakyat Jelata, mereka secara tegas menerapkan hukuman. Demi Allah SWT. Jika FATIMAH BINTI MUHAMMAD (Anakku sendiri) mencuri, PASTI akan aku potong tangannya” (Hadits Riwayat Imam Bukhari).


FATWA Khalifah UMAR BIN KHATTAB kepada QADHI di Kufah Abu Musa Al-

Asyari.

Samakan kedudukan manusia itu dalam majelismu, pada wajahmu, pada tindak lakumu dan dalam Putusanmu, supaya yang kaya tidak menganggap Wajar Ketidak Adilanmu”, dan yang Miskin dan Lemah tidak Berputus Asa terhadap Putusanmu”.


Firman Allah SWT. Dalam Al-Quran, Sabda Rasulullah SAW. Dalam Al-Hadits dan Fatwa Amirul Mukminin  yang termaktub diatas dengan gamblang menjelaskan Kaedah-kaedah Penegakan Hukum didalam Islam dan Rasulullah SAW serta para Shahabatnya telah pula memberikan Tauladan (Uswah) secara langsung tentang penyelesaian terhadap kasus-kasus hukum yang dihadapi pada masanya;


Sungguh suatu Uswah yang sangat muliya dan Briliyan untuk bagaimana seorang Hakim agar senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Kebenaran, Keadilan dan Kemandirian didalam menjalankan tugasnya dalam penyelesaian terhadap kasus-kasus yang diadili. Karena tanpa nilai Kebenaran, Keadilan dan Kemandirian, maka Profesionalisme jabatan Hakim menjadi bernuansa materialistis dan pragmatis, bukan bernuansa penjaga dan penegak keadilan bagi  masyarakat;
Jika nilai  materialisme dan pragmatisme  mewarnai profisionalisme  hakim,  maka Ide Negara yang berdasarkan Hukum tinggal cita-cita. Jika demikian, maka wibawa Pengadilan terus merosot dan negara berjalan atas dasar kekuasaan, karena itu tantangan hakim kedepan adalah bagaimana menata kelembagaan dan tradisi Pengadilan yang mencerminkan Akhlaq Rasulullah SAW sebagai panutan Agung dalam menegakkan keadilan dan mampu bersikap serta menegakkan Etos kerja seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab;
Mengapa kedudukan hakim menjadi sangat strategis dan urgen serta Muliya didalam Islam ?, Tidak lain karena hakim mengemban amanat sebagai Penyambung Titah Allah SWT. Dan Rasulnya dimuka   Bumi dan juga menggali nilai-nilai hukum khususnya hukum Islam yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
Ketika  memutus perkara,  para hakim harus  bersikap  adil dengan tetap  menghormati manusia sebagai seorang hamba dan Khalifatullah dimuka bumi, bukan sebagai Obyek hukum. OLah karena itu sudah seharusnya hakim menjadi USWATUN HASANAH (model hakim yang benar, adil dan mandiri) seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dengan demikian citra Pengadilan dan wibawa hakim dapat  diperbaiki,  kepastian hukum dapat  meningkatkan kepercayaan masyarakat    dan  negara tetap  berjalan  diatas  dasar  hukum  bukan diatas dasar kekuasaan;
Dalam kerangka demikian itu, maka peran hakim menjadi strategis, ia tidak hanya menggali ilmu hukum dari pengalaman Empiris dan menjadi model hakim yang dapat dicontoh (Uswah) oleh masyarakat, tetapi juga sebagai pembaru citra lembaga Peradilan dan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Ia tidak hanya mengerjakan pekerjaan rutinnya memutus perkara, tetapi juga senantiasa melakukan repleksi teoritis dan abstraksi empiris secara terus menerus  sehingga  dapat  melahirkan  Ijtihad”  yang  inopatif  dalam  pembangunan  hukum  di Negara yang kita cintai ini.
Kaitan dengan kata Ijtihad, dijelaskan didalam kitab Mukhtashar Syarhis Sunnah: bahwa

sesungguhnya tidak boleh bagi selain orang Mujtahid untuk menduduki jabatan Hakim, dan tidak


boleh bagi kepala Negara untuk mengangkat Hakim selain dari orang yang Mujtahid. Dalam kitab yang sama dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Mujtahid adalah Orang yang menghimpun (menguasai) lima macam ilmu yaitu Kitabullah (Al-Quran), Sunnah Rasulullah SAW.(Al-Hadits), Ijma para ulama salaf baik yang sudah sepakati maupun yang belum (berselisih paham), menguasai bahasa arab yang berhubungan dengan hukum dan menguasai
Qiyas;

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah (Harun Arrasyid). Untuk itu harus dijamin oleh Undang-undang tentang kedudukan dari  hakim  itu  sendiri,  lembaganya,  dengan  tujuan  agar  didalam  menjalankan  tugas  dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, hakim sesuai dengan perinsip Independent of judiciary harus bersifat mandiri tidak boleh ada intervensi dari lembaga lembaga lain apalagi oleh Pemerintah/penguasa, hal ini diatur didalam penjelasan pasal 24 UUD 1945, dan sekarang dalam amandenmen pasal 24 ayat (1) dan didalam Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman; Namun demikian kekuasaan yang dimaksud adalah bukanlah kekuasaan yang mutlak, sehingga  menghalalkan segala cara didalam  memutus perkara    perkara yang  ditanganinya. Kontrol IMAN adalah garda depan yang wajib dimiliki oleh seorang hakim sebagai kontrol terhadap  tugas-tugas  institusionalnya  pada  saat  berada  dan  menjalankan  fungsinya  sebagai
hakim;

Seorang hakim wajib memiliki integritas (keutuhan pribadi) moral yang luhur, dalam bentuk  kejujuran  dan  kepribadian  yang  baik.  Dalam  melaksanakan  tugas-tugasnya  seorang hakim harus pada prinsip Iman, Islam dan Ihsan, sebab ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain,   karena dari sinilah lahirnya etika moral untuk dijadikan pedoman dan pegangan bagi dirinya; Orang yang memiliki Iman yang kuat akan memilki harga diri yang kuat pula  dan  tidak  akan  melakukan  perbuatan  yang  dilarang  oleh  agama,  ia  tidak  akan  bisa diguncang oleh segala sesuatu yang berkaitan dengan profisinya itu. Dengan perinsip Ihsa n yang tertanam dalam diri seorang hakim berarti ia akan merasa bahwa segala yang dilakukannya itu selalu dalam pengeliatan dan pengawasan Allah SWT. Dan hal ini akan membawa dampak positif dalam kehidupannya terutama didalam  menjalankan tugasnya sebagai hakim,  dengan selalu merasa dilihat dan diawasi olah Allah SWT. maka ia tidak akan pernah lepas dari kendali dan  dengan  sendirinya  tingkah  lakunya  selalu  baik,  tidak  akan  melakukan  hal-hal  yang melanggar etika apalagi yang bertentang dengan hukum;


Meskipun hakim memiliki intlektualitas dan profisionalisme yang tinggi, tetapi tidak didukung oleh Integritas moral yang baik seperti yang dijelaskan diatas, maka intlektualitas dan profisionalisme yang dimiliki oleh seorang hakim tidak akan punya arti apa-apa, justru dengan intlektualitas dan profisionalisme yang dia miliki itu akan dijadikan alat untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji dan melanggar hukum;
Dalam kaitan ini bahwa etika profesi hakim yang didalamnya terdapat integritas moral merupakan alat untuk menegakkan citra, wibawa dan martabat hakim Indonesia (H.R.Purwoto S.Gandasubrata);
Selain   itu  kaitannya  dengan  integritas   moral   yang   harus  dimiliki  hakim  dalam menjalankan tugasnya , Rasulullah SAW. Pernah bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Arbaah dan disahkan oleh Ibnu Khusaimah dan Ibnu Hibban sebagai berikut : “Hakim itu ada tiga golongan, yang satu golongan akan masuk Syurga dan dua golongan lainnya akan masuk Neraka. Golongan hakim yang akan masuk Syurga adalah hakim yang memenuhi persyaratan intlektualitas, profesionalisme dan memiliki moral yang baik serta memutus perkara dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya. Sedangkan satu golongan hakim yang masuk   Neraka adalah hakim yang memiliki ilmu pengetahuan/intlektual dan profisionalisme yang tinggi, tetapi dia tidak memutus perkara dengan tuntunan Allah dan Rasulnya tetapi dia memutus perkara dengan hawa nafsunya. Dan satu golongan lagi hakim yang akan masuk Neraka adalah hakim yang bodoh, tidak memiliki ilmu pengetahuan yang cukup dan tidak memiliki profesionalisme dalam bidang tugasnya serta memutus perkara dengan kebodohannya”
Didalam hadits lain Rasulullah SAW. Bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad

dan Arbaah : Barang siapa yang mau diangkat menjadi hakim, berarti dia telah merelakan

dirinya untuk disembelih dengan tanpa pisau;



Dari tulisan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1.   Hakim yang muslim wajib hukumnya untuk selalu dan senantiasa berpegang teguh dengan ketentuan ketentuan Allah SWT. Didalam Al-Quranul Karim, dengan Sunnah Rasulullah SAW dan Ijmaknya para Shahabat Nabi didalam menjalankan profesinya sebagai hakim.


2.  Hakim senantiasa dituntut untuk meningkatkan intlektualitas dan profesionalisme keilmuannya  .  semua  itu  terangkum  dalam  sifat  Siddiq,  Amanah,  Tablig  dan Fathanah;
3.   Wibawa hukum dan kepastian hukum adalah buah atau hasil  dari pelaksanaan atau penegakan hukum yang benar, adil dan mandiri, wibawa dan kepastian hukum tidak berdiri sendiri, ia hanya ganjaran atas baiknya penegakan hukum.
4.   Apabila hukum ditegakkan sesuai dengan perinsip-perinsip dan kaidah-kaidah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para Shahabatnya, maka wibawa dan kepastian hukum pasti akan dapat ditegakkan; SEMOGA !!! AAMIN.


Sumber pustaka:

1.    Depag RI. Tahun.1974 Terjemahan Al-Quranulkarim
2.    Drs.Abubakar Muhammad Terjemahan Subulussalam
3.    Drs.Amrullah Ahmad dkk.Dimensi hukum Islam dalam sisten hukum Nasional
4.    Drs.H.Abdul Manan,SH,S.IP,M.Hum Hakim Peradilan  Agama Hakim dimata Hukum Ulama dimata
Ummat.


*) hakim PA Ende NTT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar