Powered By Blogger

Minggu, 16 Oktober 2016

Hukum Acara Perdata



MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Matakuliah

Hukum Acara Perdata
 
Dosen Pengampu :
Dr. Muwahid, SH., MH.


Penyusun :
Vinda Apriliantika                  (C91215157)
Nafahatur Rohmah                 (C91215073)
                     Moh Durrul Ainu Nafis          (C01215020)                     


DAFTAR ISI

Cover
Daftar Isi
BAB I : PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang     
1.2   Rumusan Masalah 
1.3   Tujuan Pembahasan           

BAB II : PEMBAHASAN
2.1  Pemanggilan Para Pihak  
A.Tahap sebelum dilakukan pemanggilan 
B.Tahap pemanggilan     
2.2   Pemeriksaan Identitas        
2.3   pembacaan Gugatan            
2.4   Gugatan Rekonvensi           
A.  Pengertian gugatan rekonvensi   
B.  Komposisi para pihak dihubungkan dengan gugatan rekonvensi   
C.  Gugatan rekonvensi bersifat eksepsional      
D.  Tujuan gugatan rekonvensi 
E.   Syarat materil gugatan rekonvensi     
F.   Syarat formil gugatan rekonvensi     
G.  Larangan mengajukan gugatan rekonvensi  
H.  Gugatan rekonvensi terhadap eksekusi        
I.     Sistem pemeriksaan konvensi dan rekonvensi         
J.     Boleh dilakukan pemeriksaan secara terpisah
2.5 Putusan Verstek   
A.  Cara pemberitahuan putusan verstek 
B.  Syarat acara verstek    
C.  Penerapan verstek apabila tergugat lebih dari satu    
D.  Bentuk putusan verstek         
E.   Dasar hukum putusan verstek 
F.   Penyelesaian putusan verstek 
G.  Eksekusi putusan verstek      
H.  Upaya hukum verzet      
I.     Syarat acara verzet      
J.     Proses pemeriksaan verzet    
K.  Bentuk upaya hukum verzet  
L.   Upaya banding         
M. Putusan verzet  
N.  Bentuk putusan verzet             
O.  Perlawanan dari pihak ketiga     
2.6   Ruang Lingkup Eksepsi        
A. pengertian dan tujuan eksepsi    
B. Cara pengajuan eksepsi           
C. Eksepsi kewenangan absolut     
D. Eksepsi kompetensi relatif       
E. Cara penyelesaian eksepsi        
F. Bantahan terhadap pokok perkara     
G. Bantahan disampaikan dalam jawaban              
H. Bantahan beserta eksepsi           
2.7   Replik              
2.8   Duplik             

BAB III  : PENUTUP
3.1  Kesimpulan     
3.2 Kritik dan Saran      

DAFTAR PUSTAKA

 

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Judul tulisan ini bukan hal yang baru, sudah banyak ditulis oleh para pakar hukum serta sudah sering dibahas dalam forum diskusi maupun forum seminar, namun tetap saja masih terdapat perbedaan pemahaman terutama dalam praktek di pengadilan. dalam persidangan apakah perlu adanya pemeriksaan dan begitu pula penyelesaian upaya hukum baik konvensi, rekonvensi, verstek maupun verzet. Begitu banyak tahapan-tahapan penyelesaian dan pemeriksaan dalam persidangan, sehingga timbulah tanda tanya bagaimana terjadi pebedaan? apa yang melatarbelakangi perbedaan itu.
Perbedaan pemahaman maupun perbedaan dalam praktek suatu hal yang wajar, hal itu dipengaruhi oleh perubahan waktu dan kondisional, karena ilmu hukum selalu berubah mengikuti perubahan masyarakatnya, masyarakat hukum sebagai pencari keadilan menghendaki hukum dapat memberikan keadilan sesuai logika nalar yang berlaku pada masanya.

Hakim dianggap sebagai seorang yang mengetahui hukum (ius curi novit) wajib memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan padanya dan Hakim juga sebagai pembuat hukum (judge made law) tentunya dengan kearifannya dapat memahami bahwa hukum acara perdata berupa RBg dan HIR merupakan produk Pemerintahan Hindia Belanda yang dibuat beberapa puluh tahun yang lalu tentunya terdapat beberapa ketentuan pasal yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat saat ini, oleh karena itu Hakim dapat lebih memperluas pemahamannya dan tidak membuat penafsiran yang sempit terhadap pasal-pasal dalam RBg/HIR sepanjang tidak mengurangi atau menyimpangi substansi dari isi pasal-pasal dimaksud.

1.2       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemanggilan para pihak dalam persidangan?
2.      Bagaimana proses pemeriksaan identitas dalam persidangan?
3.      Bagaimana pembacaan gugatan di pengadilan?
4.      Apa arti rekonvensi, verstek, eksepsi, replik dan duplik?

1.3       Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui cara pemanggilan bagi para pihak dalam persidangan
2.      Untuk mengetahui proses pemeriksaan identitas dalam persidangan
3.      Untuk mengetahui alur pembacaan gugatan di pengadilan
4.      Untuk mengetahui arti rekonvensi, verstek, eksepsi, replik dan duplik

BAB II
PEMBAHASAN

2.1       PEMANGGILAN PARA PIHAK
Pengertian panggilan dalam buku acara perdata adalah menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan. Menurut pasal 388 dan pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita. Kewenangan juru sita ini berdasarkan pasal 121 ayat (1) HIR diperolehnya lewat perIntah ketua (Majelis Hakim) yang dituangkan dalam penetapan hari sidang atau penetapan pemberitahuan. Pemanggilan atau pnggilan (convocation, convocatie) dalam arti sempit dan sehari-hari sering diidentikkan hanya terbatas pada perintah menghadiri sidang pada hari yang ditentukan. Akan tetapi, dalam hukum acara perdata, sebagimana dijelaskan pasal 388 HIR, pengertian panggilan meliputi makna dan cakupan yang lebih luas, yaitu:
·         Panggilan sidang pertama kepada penggugat dan tergugat
·         Panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak atau salah satu pihak apabila pada sidang yang lalu tidak hadir baik tanpa alasan yang sah atau berdasarkan alasan yang sah
·         Panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah satu pihak berdasarkan pasal 139 HIR (dalam hal mereka tidak dapat menghadirkan saksi yang penting dipersidangan)
Dalam hal ini, kepada seseorang disampaikan pesan atau informasi agar dia tahu tentang sesuatu hal yang hendak dilakukan oleh pihak lawan maupun suatu tindakan yang akan dilakukan pengadilan. Dengan demikian, arti dan cakupan panggilan meliputi pemberitahuan, segala syarat dan tata cara yang ditentukan undang-undang mengenai tindakan hukum pemanggilan, sama dan berlaku sepenuhnya dalam pemberitahuan.


A.      Tahap Sebelum Dilakukan Pemanggilan
Sesuai dengan tata tertib beracara, panggilan merupakan tindakan lanjutan dari tahap berikut ini:[1]
1.      Penyampaian Gugatan kepada Pengadilan Negeri (PN)
Tahap pertama, penyampaian atau pengajuan gugatan kepada PN oleh penggugat. Gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN berdasarkan kompetensi relatif:
·      Dalam bentuk surat gugatan
·      Ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya
·      Dialamatkan kepada ketua PN
2.      Pembayaran biaya perkara
Pasal 121 ayat (4) HIR menyatakan dengan tegas pembayaran biaya perkara disebut juga panjar perkara, pembayaran biaya perkara merupakan syarat imperatif atau syarat memaksa atas pendaftaran perkara dalam buku registrasi. Konsekuensi atas pasal ini, selama penggugat belum membayar lunas biaya perkara yang ditetapkan Panitera PN, belum timbul kewajiban hukum (legal obligation) bagi PN untuk memasukkan gugatan dalam buku register perkara.
a.      Yang dimaksud biaya perkara
Biaya perkara yang harus dibayar penggugat adalah panjar biaya perkara, yang disebut juga biaya sementara, agar gugatan dapat diproses dalam pemeriksaan persidangan. Biaya sementara berpatokan pada pasal 182 ayat (1) HIR dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan proses pemeriksaan. Selanjutnya, biaya sementara berbea dengan biaya akhir yang meliputi biaya yang timbul dalam semua tingkat peradilan.
b.       Patokan menentukan panjar biaya
Patokan menentukan besarnya panjar biaya perkara menurut pasal 121 ayat (4) HIR, didasarkan pada taksiran menurut keadaan.
c.         Dimungkinkan beperkara tanpa biaya (Prodeo)
Bab ketujuh, bagian ketujuh HIR, mengatur tentang izin beperkara tanpa biaya.
1)             Syarat beperkara tanpa biaya
Syarat beperkara secara prodeo, diatur dalam pasal 237 HIR yang menegaskan, bagi orang-rang yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberi izin untuk beperkara tanpa biaya. Titik tolak memberi kemungkinan beperkara tanpa biaya, berdasarkan alasan kemanusiaan dan keadilan umum.
2)             Cara mengajukan permintaan izin
Jika yang mengajukan permintaan izin adalah penggugat maka berdasarkan pasal 238 ayat (1) HIR diajukan pada saat menyampaikan surat gugatan. Jika yang mengajukan adalah si tergugat dalam pasal 238 ayat (3)HIR, menyatakan permintaan izin diajukan tergugat pada saat mengajukan jawaban.
3)             Syarat permintaan
Pasal 238 ayat (3), mengatur syarat permintaan izin. Bahwa pengajuan harus disertai surat keterangan tidak mampu dari polisi setempat. Pada saat ini lebih tepatnya dari pemerintah. Bisa camat atau kepala desa.
4)             Registrasi
Hal-hal atau tindakan yang berhubungan dengan pendaftaran gugatan dalam buku register perkara, terdiri atas:[2]
a.    Pemberian Nomor Perkara
b.    Panitera Menyerahkan Perkara kepada Ketua PN
5)             Penetapan Majelis oleh Ketua PN
Setelah ketua PN menerima berkas perkara dari panitera, segera menetapkan majelis yang akan memeriksa dan memutusnya. Apabila ketua berhalangan penetapan majelis dilakukan wakil ketua.
·         Jangka waktu penetapan, secepat mungkin
·         Jangka waktu yang digariskan MA paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal penerimaan.[3]

6)             Penetapan hari sidang
Yang menetapkan hari sidang adalah majelis yang menerima pembagian distribusi perkara. Penetapan hari sidang, dituangkan dalam bentuk surat penetapan:
·      Menurut pasal 121 ayat (1)HIR, penetapan hari sidang harus dilakukan segera setelah majelis menerima berkas perkara
·      Menurut panggarisan MA, paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal penerimaan berkas perkara, majelis harus menerbitkan pnetapan hari sidang.[4]
B.            Tahap Pemanggilan
Setelah dilampaui tahap pengajuan gugatan, pembayaran biaya, registrasi, penetapan majelis tentang hari sidang, tahap selanjutnya tindakan pemanggilan pihak penggugat dan tergugat untuk hadir didepan persidangan pengadilan pada hari dan jam yang ditentukan. Hakim yang bersangkutan memberitahukan dengan surat panggilan yang memuat hari dan pemanggilan para pihak untuk menghadap pengadilan pada yang telah ditetapkan dengan membawa saksi-saksi dan bukti-bukti yang diperlukan.[5]
Surat panggilan diberikan kepada tergugat ditempat tinggalnya oleh juru sita. Apabila tergugat tidak ditemukan,  surat panggilan diserahkan kepada kepala desa yang bersangkutan  untuk ditersukan kepada tergugat.[6] Namun, kalau tergugat sudah meninggal maka surat panggilan disampaikan kepada ahli warisnya. Jika ahli warisnya tidak diketahui juga, maka disampaikan kepada kepala desa ditempat tinggal terakhir.
Surat akan diserahkan kepada Bupati dan untuk selanjutnya ditempelkan di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan, apabila tempat tinggal tidak dapat diketahui. Dalam pasal 126 HIR, Rbg pasal 150 memberi kemungkinan untuk memanggil sekai lagi tergugat sebelum perkaranya diputus oleh hakim.
Setelah juru sita melakukan pemanggilan, selanjutnya menyerahkan risalah panggilan kepada hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan. Risalah tersebut merupakan bukti bahwa tergugat telah dipanggil. Dan kemudian hari yang telah ditetapkan sidang pemeriksaan perara dimulai.[7]

2.2              PEMERIKSAAN IDENTITAS
Setelah sampai pada waktu acara persidangan dan hakim ketua sudah membuka sidang, hakim memulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada penggugat dan tergugat, meliputi:
a.       Identitas penggugat
b.      Identitas tergugat
Para pihak menunjukkan KTP masing-masing untuk memastikan kebenaran identitas. Apabila yang datang kuasa hukum penggugat atau tergugat, maka hakim mempersilahkan para pihak untuk meneliti surat kuasa yang dibawa. Jika tidak ditemukan kekurangan atau cacat, maka sidang dilanjutkan. Menanyakan tentang acara dan status penggugat dan tergugat.
c.       Hakim menghimbau agar selalu dilakukan perdamain.
Hakim terus memberikan himbauan agar para pihak akan melakukan pedamaian. Kemudian sidang akan ditangguhkan.[8]

2.3              PEMBACAAN GUGATAN
Pembacaan surat gugatan sangat penting karena mencakup prihal-prihal yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak (penggugat/tergugat). Selain gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai dan kalau tidak tercapai, maka ketua majelis melanjutkan dengan menanyakan kepada tergugat, apakah ia akan menjawab secara lisan atau tertulis.[9]

2.4         GUGATAN REKONVENSI
A.      Pengertian Gugatan Rekovensi
Pasal 132 a ayat (1) HIR, hanya memberi pengertian singkat. Maknanya menurut pasal itu:
·         Rekovensi  adalah gugatan yang diajukan penngugat kepadanya, dan
·         Gugatan rekovensi itu, diajukan tergugat kepada PN, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang di ajukan penggugat.
Demikian pengertian gugatan rekonvensi yang di rumuskan dalam Pasal 132 a ayat (1) HIR.
B.       Komposisi Para Pihak Dihubungkan Dengan Gugatan Rekonvensi
Gugatan rekonvensi  menimbulkan permasalahan, komposisi gugatan maupun kududukan para pihak.
a.      Komposisi gugatan
Dengan adanya gugatan rekonvensi , komposisi gugatan menjadi:
·         Gugatan penggugat disebut gugatan konvensi (eis in conventie) yang bermakna sebagai gugatan asal yang ditujukan pada penggugat kepada yang tergugat;
·         Gugatan tergugat disebut dengan gugatan rekonvensi (eis in reconventie) yang bermakna gugatan balik yang ditujukan tergugat kepada penggugat.
Dapat dilihat,pada satu sisi berdiri gugatan konvensi yang diajukan penggugat kepada tergugat. Pada sisi lain, muncul gugatan rekonvensi yang diajukan tergugat kepada penggugat.
b.      Komposisi para pihak
Selain muncuk dan saling berhadapan gugatan konvensi dan rekonvensi, serta merta hal itu menimbulkan komposisi yang menempatkan para pihak dalam kedudukan:
·         Penggugat asal sebagai penggugat konvensi ( eiser in conventie) pada saat yang bersamaan berkedudukan menjadi tergugat rekonvensi terhadap gugatan rekonvensi yang diajukan tergugat;
·         Tergugat asal sebagai penggugat rekonvensi (eiser in reconventie) pada saat yang bersamaan berkedudukan sebagai penggugat konvensi.
C.    Gugatan Rekonvensi Bersifat Eksepsional
a.       Setiap gugatan adalah berdiri sendiri sesuai dengan ketentuan tata tertib beracara, setiap gugatan yang diajukan seseorang kepada orang lain memiliki sifat individual yang terpisah dan berdiri sendiri dari gugatan yang lain.
b.      Secara eksepsional pasal 132 a HIR, Memberi hak pada tergugat melakukan kumulasi gugatan rekonvensi dengan gugatan konvensi.
c.       Pasal 132 a HIR mengenyampingkan aturan yang mengharuskan setiap gugatan masing-masing berdiri sendiri. Berdasarkan pasal itu, dalam pemeriksaan gugatan perkara yang sedang berjalan:
Sistem kumulasi rekonvensi dengan konvensi, administrasi yudistisial menegakkan asas berikut.
1)   Nomor register gugatan rekonvensi menumpang dan menjadi satu dengan nomor register gugatan konvensi. Dengan demikian, keberadaan gugatan rekonvensi melekat dan menjadi satu-kesatuan dengan gugatan konvensi. Padahal semestinya menurut ketentuan umum, setisap gugatan harus diberi nomor register yustisial yang berdiri sendiri.
2)   Biaya panjar perkara gugatan rekonvensi dianggap dengan sendirinya menurut hukum telah melekat pada panjar gugatan konvensi meskipun pada dasarnya gugatan rekonvensi merupakan gugatan yang memiliki sifat individual yang berdiri sendiri, namun apabila dia dikumulasi dengan gugatan konvensi, seolah-olah sifat itu dilebur, dan selanjutnya administrasi yustisialnya ditumpangkan dan diletakkan pada gugatan konvensi.

D.    Tujuan Gugatan Rekonvensi
a.       Menegakkan asas peradilan sederhana
Sesuai pasal 132 b ayat (3) HIR, gugatan konvensi dan rekonvensidiperiksa dan diputus secara serentak dalam satu proses, dan dituangkan dalam satu proses, dan dituangkan dalam satu keputusan, sistem yang menyatukan pemeriksaan dan putusan dalam satu proses, sangat menyederhanakan penyelesaian perkara. Dengan sistem ini, penyelesaian perkara semestinya dilakukan dalam dua proses yang terpisah dan berdiri sendiri, dibenarkan hukum untuk diselesaikan secara bersama dalam satu proses.
b.      Menghemat biaya dan waktu
1)      Menghemat biaya
Apabila pemeriksaan gugatan rekonvensi dilakukan secara terpisah dengan konvensi, biaya yang mesti dikeluarkan untuk memanggil para pihak maupun biaya lain menjadi dua kali lipat.
2)      Menghemat waktu
Sekiranya proses pemeriksaan berdiri sendiri, diperlukan jatah waktu yang berbeda  dan terpisah  untuk masing-masing gugatan. Konvensi memerlukan jatah waktu tersendiri, demikian juga rekonvensi. Akan tetapi, melalui
 Sistem pemeriksaan sebagaimana di gariskan Pasal 132 b ayat (2) HIR, yang memerintahkan pemeriksaan antara keduanya dalam satu putusan, penyelesaian perkara menjadi lebih singkat.  Jangka waktu yang di gunakan juga lebih dihemat setengah dari semestinya.

E.     Syarat Materil Gugatan Rekonvensi
1.      UU tidak mengatur syarat materil
Tidak ada ketentuan mengenai syarat materil. Pasal 132 HIR hanya berisi penegasan bahwa :
a)      Tergugat dalam setiap perkara berhak mengajukan gugatan rekonvensi
b)      Tidak disyaratkan antara keduanya mesti mempunyai hubungan yang erat
2.      Sifat  rekonvensi terhadap putusan konvensi
Putusan rekonvensi dengan putusan konvensi apabila terdapat koneksitas
a)        Putusan rekonvensi mengikuti putusan konvensi
b)        Putusan rekonvensi ada apabila terdapat gugatan balik dari putusan konvensi
c)        Jika putusan konvensi tidak diterima, maka tidak ada putusan rekonvensi

F.     Syarat Formil Gugatan Rekonvensi
1.      Gugatan rekonvensi di formulasi secara tegas.[10]
Bentuk pengajuan boleh secara lisan, tetapi lebih baik dengan tulisan. Syarat formil guagatan meliputi:
a)      Menyebut dengan tegas subjectif yang di tarik sebagai terggugat rekonvensi
b)      Merumuskan dengan jelas posita / dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan dasar hukum dan dasar peristiwa.

2.      Gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan  jawaban
Syarat formil lain diatur dalam pasal 132 b ayat (1) HIR yang berbunyi
“tergugat wajib mengajukan gugatan melawan bersama-sama dengan jawabanya baik dengan surat maupun dengan lisan”.
                        Dari pasal diatas, makna kata jawaban melingkupi:
Ø  Membolehkan atau memberi kebebasan bagi tergugat mengajukan gugatan rekonvensi diluar jawaban pertama, dapat menimbulkan kerugian bagi penggugaat dalam membela hak dan kepentinganya
Ø  Rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan mesti pada jawaban pertama, yaitu agar tergugat tidak sewenang-wenang dalam
3.      Batas pengajuan rekonvensi
Batas pengajuan tersebut diberlakukan sampai tahap pembuktian, gugatan rekonvensi tidak multak diajukan pada jawaban pertana, tetapi dimungkinkan pada pengajuan duplik.
G.    Larangan Pengajuan Guagatan Rekonvensi
1.      Larangan diwakili oleh orang lain yang tidak tau-menahu mengenai gugatan rekonvensi.
2.      Larangan mengajukan gugatan rekonvensi di luar yurisdiksi PN yang memeriksa perkara.[11]
3.      Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat banding karena pengajuan hanya boleh pada tahap pertama saat proses pemerikasaan di PN.[12] Dipertegas dalam putusan MA No. 1250 K/Pdt/1986 bahwa PT yang lalai mempertibangkan dan memutus gugatan rekonvensi dalam tingkat bnading, dianggap telah melakukan kekeliruan dalam tatacara mengadili dan dapat dijadikan alasan oleh MA untuk membatalkan putusan.
4.      Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat kasasi, hal itu berdasarkan putusan MA No. 209 K/Sip/1970 yang mengatakan, gugatan rekonvensi dalam tingkatan kasasi tidak dapat di ajukan. Oleh karena itu, kalau keadilan pada tingkat pertama tergugat lalai dalam mengajukan gugatan rekonvensi, gugatan itu harus di ajukan secara tersendiri melalui gugatan perdata biasa kepada PN.[13]
H.    Gugatan Rekonvensi Terhadap Eksekusi
Pada prinsipnya, tergugat tidak boleh mengajukan gugatan rekonvensi atas eksekusi, hal itu berdasarkan pasal 132 a ayat (1) ke-3 HIR. Oleh karena itu, dapat di berlakukan:
a)      Putusan yang hendak di eksekusi sudah bersifat menyudahi pokok perkara
b)      Perlawanan yang diajukan tergugat tidak berisi pokok perkara baru
I.       Sistem Pemeriksaan Konvensi dan Rekonvensi    
1)      Konvensi dan rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalma satu putusan
Dilakukan secara serentak dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib acara yang digariskan oleh UU. Oleh karena itu:
·         Terbuka hak mengajukan eksepsi pada konvensi maupun rekonvensi
·         Mengajukan replik dan duplik pada konvensi maupun rekonvensi
·         Mengajukan pembuktian baik untuk konvensi maupun rekonvensi
·         Menyampaikan kesimpulan dalam konvensi maupun rekonvensi
2)      Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu putusan dengan sistematika sebagai berikut:
a)      Menempatkan putusan konvensi pada bagian awal, meliputi:
§  Posita/dalil gugatan konvensi
§  Petitum gugatan konvensi
§  Uraian pertimbangan konvensi
§  Kesimpulan hukum guagatan konvensi
b)      Menyusul kemudian, uraian gugatan rekonvensi, meliputi hal-hal yang sama dengan guagatan rekonvensi
c)      Perintah putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari:
§  Dalam konvensi
§  Dalam rekonvensi

J.      Boleh Dilakukan Proses Pemeriksaan secara Terpisah
a)      Diperiksa secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi benar, maka diberlakukan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan:
Ø  Boleh dilakukan pemeriksaan terpisah
Ø  Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara yang berlainan
                        Cara proses pemeriksaan:
§  Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi
§  Kemudian menyusul penyelesaian gugatan rekonvensi.[14]

2.5       PUTUSAN VERSTEK
Berdasarkan Kamus Hukum, istilah verstek diambil dari kata verstek procedure yang berarti “acara luar hadir”, dan verstekvonnis yang berarti “putusan tanpa hadir atau putusan di luar hadir tergugat”. Pengertian verstek secara teknis ialah pemberian wewenang kepada hakim untuk memeriksa dan memutuskan perkara meskipun penggugat atau tergugat tidak hadir dipersidangan pada tanggal yang ditentukan.  Dengan demikian putusan diambil dan dijatuhkan tanpa bantahan atau sanggahan dari pihak yang tidak hadir.[15]
Putusan Verstek (in absentia) ialah putusan yang dijatuhkan karena tergugat tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan.[16] Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, hakim berwenang untuk menjatuhkan putusan verstek yang tercantum dalam Pasal 126 HIR berisi:[17]
1)   Hakim berwenang menjatuhkan putusan verstek atas ketidakhadiran tergugat pada sidang pertama. Namun hakim yang bijaksana, tidak gegabah secara emosional langsung menerapkan acara verstek, tetapi memberikan kesempatan lagi kepada tergugat untuk hadir di persidangan dengan jalan mengundurkan pemeriksaan. Tindakan itu dapat dilakukan berdasarkan jabatan (ex officio), meskipun tidak ada permintaan dari pihak penggugat.
2)   Mengundurkan sidang dan memanggil tergugat sekali lagi.
3)   Batas toleransi pengunduran.

A.       Cara Pemberitahuan Putusan Verstek
Putusan verstek harus diberitahukan kepada orang yang dikalahkan dan kepadanya diterangkan, bahwa ia berhak untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek tesebut terhadap pengadilan negeri yang sama, dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam pasal 129 HIR. Di bawah surat putusan verstek ditulis siapa yang diperintahkan untuk menjalankan pemberitahuan putusan tersebut secara lisan atau tertulis. Seperti hal nya berita acara pemangilan pihak-pihak untuk menghadap pada sidang pengadilan negeri, surat pemberitahuan putusan verstek dibuat oleh juru sita.[18]

B.       Syarat Acara Verstek
          Dalam pasal 125 ayat (1) HIR atau pasal 78 Rv, dikemukakan syarat-syarat verstek antara lain: [19]
1.    Tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut
                   Mengenai cara pemanggilan yang sah dan patut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a)      Yang melaksanakan pemanggilan adalah juru sita
b)      Bentuknya dengan surat panggilan
c)      Cara pemanggilan yang sah, sebagai berikut:[20]
1)      Tempat tinggal tergugat diketahui
Ø Disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri atau keluarganya
Ø Penyampaian dilakukan ditempat tinggal atau tempat domisili
Ø Disampaikan kepada kepala desa, apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak diketemukan juru sita di tempat kediaman.
2)      Tempat tinggal tidak diketahui
Ø Juru sita menyampaikan panggilan kepada walikota atau bupati, dan
Ø Walikkota atau bupati mengumumkannya.
Ø Pemanggilan tergugat yang berada di luar negeri
3)      Pemanggilan terhadap tergugat yang meninggal
Ø Apabila ahli waris dikenal, panggilan ditunjukkan kepada semua ahli waris tampa menyebut identita mereka satu per satu dan panggilan disamapaikan di tempat tinggal almarhum pewaris.
Ø Apabila ahli waris tidak dikenal, panggilan disampaikan melalui kepala desa ditempat tinggal terakhir almarhum pewaris.[21]

d)     Jarak waktu pemanggilan dengan hari siding, sebagai berikut:[22]
Ø Dalam keadaan normal, digantungkan pada faktor jarak tempat kediaman tergugat dengan gedung PN:
a)      8 hari apabila jaraknya dekat
b)      14 hari apabila jaraknya agak jauh
c)      20 hari apabila jaraknya jauh
Ø Dalam keadaan mendesak jarak waktunya dapat dipersingkat, tetapi tidak boleh kurang dari 3 hari.

2.      Tidak hadir tanpa alasan yang sah
3.      Tergugat tidak mengajukan eksepsi kompetensi

C.       Penerapan Verstek Apabila Tergugat Lebih Dari Satu
Rujukan penerapan cara verstek apabila tergugat lebih dari satu, sebagai berikut:[23]
1.    Pada sidang pertama dan sudah dilakukan pemanggilan berulang kali dengan batas maksimal yaitu 3 kali pemanggilan semua tergugat tidak hadir, maka hakim bisa menjatuhkan putusan verstek.
2.    Apabila Salah seorang tergugat tidak hadir, maka pemeriksaan bisa diundurkan dan memanggil ulang pihak tergugat yang tidak hadir, apabila tetap tidak hadir maka pemeriksaannya itu dilangsungkan secara kontradiktoir, dan hasil putusan itu berlaku juga untuk pihak tergugat yang tidak hadir. [24]
3.    Salah seorang atau semua tergugat yang hadir pada sidang pertama, tidak hadir pada sidang berikut, tetapi tergugat yang dahulu tidak hadir, sekarang hadir. Dalam kasus ini hakim dapat memilih alternatif di bawah ini:
a)      Mengundurkan persidangan
b)      Melangsungkan persidangan secara kontradiktoir

D.       Bentuk Putusan Verstek
Bentuk putusan verstek diatur dalam pasal 125 ayat (1) HIR, pasal 149 RBG, dan pasal 78 Rv sebagai berikut:
Ø Pasal 125 ayat (1) berbunyi:
Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan tidak hadir (verstek), kecuali kalau nyata pada PN bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.

Dari pasal itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa bentuk putusan verstek yang dijatuhkan pengadilan, terdiri dari:
1.      Mengabulkan gugatan penggugat
2.      Mengabulkan seluruh gugatan
3.      Boleh mengabulkan sebagian saja
4.      Menyatakan gugatan tidak dapat diterima
5.      Menolak gugatan penggugat

E.       Dasar Hukum Putusan Verstek
v Pasal 149 R.Bg./125 H.I.R.
1)   Apabila pada hari yang telah ditentukan, Tergugat tidak hadir dan pula ia tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, maka dikenai putusan tak hadir (verstek).
2)   Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara jika tergugat mengajukan tangkisan (eksepsi)
3)   Jika gugatan diterima, maka putusan itu diberitahukan kepada pihak yang dikalahkan, serta diterangkan kepadanya, bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan tak hadir itu kepada Pengadilan dalam tempo dan cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 153 R.Bg./129 HIR
4)   Panitera mencatatkan di bawah putusan tak hadir itu siapa yang diperintahkan untuk menjalankan pekerjaan baik dengan surat maupun dengan lisan.

F.        Penyelesaian Acara Verstek
   Hakim dalam penyelesaian acara verstek ada 2 macam:
1)   Hakim memeriksa perkara tanpa menunda persidangan dan langsung menjatuhkan putusan;
a.    Dimulai dari pemeriksaan relaas panggilan
Pemanggilan ini dilaksanakan oleh juru sita, kemudian hakim menilai keabsahan dan kepatutan panggilan. Selain itu, juru sita menyampaikan panggilan kepada para pihak.
b.    Pembacaan gugatan yang diajukan oleh Penggugat
Hakim sebelum membacakan gugatan Penggugat, terlebih dahulu menasihati Penggugat dan menawarkan secara damai atau diselesaikan di luar Pengadilan
c.    Pembuktian
Bagi penggugat yang telah siap dengan bukti-bukti, Hakim dapat melanjutkan tahapan pembuktian.
2)   Hakim memeriksa perkara dengan menunda persidangan
Sikap Hakim menunda persidangan ini ada berbagai macam alasan, antara lain :[25]
a.    Memberi kesempatan memanggil Tergugat sekali lagi
b.    Memberi kesempatan Penggugat untuk mengajukan pembuktian
Sekiranya Hakim ragu-ragu atas kebenaran dalil gugatan, sehingga diperlukan pemeriksaan saksi-saksi atau alat bukti lain, tindakan yang dapat dilakukan:[26]
a.    Mengundurkan persidangan sekaligus memanggil Tergugat, sehingga dapat direalisasikan proses dan pemeiksaan kontradiktor (op tegenspraak), atau
b.    Menjatuhkan putusan verstek, yang berisi diktum: menyatakan gugatan tidak dapat diterima atas alasan dalil gugatan bertentangan dengan hukum atau dalil gugatan tidak mempunyai dasar hukum”.

G.    Eksekusi Putusan Verstek
1.      Putusan verstek tidak dapat dieksekusi sebelum lewat tenggang 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan
2.      Dapat dieksekusi sebelum lewat tenggang 14 hari atas alasan yang sangat perlu, adapun syarat-syaratnya:
a.       Putusan mencantumkan diktum serta-merta
b.      Terdapat keadaan yang sangat perlu
c.       Ada permintaan dari penggugat
3.   Perlawanan verzet menyingkirkan eksekusi

H.    Upaya Hukum Verzet
Pasal 129 ayat (1) HIR atau pasal 83 Rv menegaskan :
“Tergugat yang sedang dihukum sedang ia tidak hadir (verstek) dan tidak menerima putusan itu, dapat mengajukan perlawanan atas putusan itu.[27]

Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama.[28] Perlawanan (verzet) merupakan upaya hukum karena tergugat tidak hadir pada persidangan.[29] Teknisnya, verzet dengan verstek mengandung arti bahwa tergugat berupaya melawan putusan verstek atau tergugat mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek dengan tujuan agar putusan itu dilakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh sesuai dengan proses pemeriksaan kontradiktor dengan permintaan agar putusan verstek dibatalkan serta sekaligus meminta agar gugatan penggugat ditolak.
Pasal 129 HIR, pasal 153 RBg mengatur berbagai aspek mengenai upaya hukum terhadap putusan verstek:
ü Ayat (1) mengenai bentuk upaya hukum perlawanan (verzet)
ü Ayat (2) mengenai tenggang waktu
ü Ayat (3) mengatur cara pengajuan upaya hukum
ü Ayat (4) mengatur permintaan penundaan eksekusi putusan verstek
ü Ayat (5) mengatur tentang pengajuan verzet terhadap verstek.
Perlawanan (verzet) terhadap verstek diajukan dan diperiksa dengan cara biasa sama halnya dengan gugatan hal perdata. Ketika verzet telah diajukan ke pengadilan maka tertundalah perkerjaan menjalankan putusan verstek, kecuali kalau telah diperintahkan bahwa putusan itu dapat dijalankan walaupun ada perlawanan. Jika telah dijatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya maka verzet selanjutnya yang diajukan oleh tergugat tidak dapat diterima.[30]
Putusan yang dijatuhkan dengan verstek, tidak boleh dijalankan sebelum lewat 14 hari sesudah putusan.[31] Kalau sangat perlu, maka dapat diperintahkan supaya putusan itu dijalankan sebelum lewat tempo itu, baik dalam surat putusan maupun putusan atas permintaan penggugat dengan lisan atau tulisan.[32] Sehingga dalam praktek sering gugatan penggugat dikabulkan dalam putusan verstek tanpa mempelajari gugatan lebih dahulu.[33]

I.          Syarat Acara Verzet
Syarat mengajukan perlawanan (verzet) merupakan syarat formil yang bersifat imperatif. Syarat tersebut menjelaskan tenggang waktu yang ditentukan oleh UU kemudian melampaui batas, maka perlawanan akan menjadi cacat formil, sehingga permintaan yang diajukan tidak dapat diterima. Adapun Tenggang waktu diatur dalam pasal 129 ayat (2) HIR: [34]
1)      Dihitung dari tanggal pemberitahuan putusan verstek kepada tergugat sampai 14 hari. Dengan ketentuan setelah pemberitahuan mengenai adanya putusan verstek kepada tergugat apabila pemberitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan.  
2)      Sampai hari ke-8 sesudah peringatan (Aanmaning) apabila pemberitahuan putusan tidak langsung kepada diri pribadi tergugat.
3)      Sampai hari ke-8 sesudah dijalankan eksekusi berdasarkan pasal 197 HIR.
Jika pemberitahuan putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada tergugat sendiri dan pada waktu peringatan (aanmaning) tergugat hadir, maka tenggang waktunya sampai pada hari kedelapan.  Jika tergugat tidak hadir pada waktu peringatan (aanmaning), maka tenggang waktunya adalah hari kedelapan sesudah sita eksekusi dilaksanakan.[35] Dalam praktik peradilan maka apabila tergugat yang diputus dengan verstek mengajukan verzet maka kedua perkara tersebut dijadikan satu dan dalam register diberi satu nomor perkara.[36]

J.         Proses Pemeriksaan Verzet
Sebelum masuk ke proses pemeriksaan verzet, hakim berwenang melakukan upaya damai.[37] Jika tidak berhasil, maka hakim memerintahkan para pihak untuk mengikuti proses mediasi yang di pimpin oleh mediator.[38]
Ada beberapa proses dalam pemeriksaan, sebagai berikut:
1)      Verzet diajukan kepada Peradilan yang menjatuhkan putusan verstek
Agar permintaan verzet memenuhi syarat formil, maka :
Ø  Diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya.
Ø Disampaikan kepada Peradilan yang menjatuhkan putusan verstek sesuai batas tenggang waktu yang ditentukan.
Ø Verzet ditujukan kepada putusan verstek tanpa menarik pihak lain, selain daripada penggugat semula.
2)      Verzet terhadap putusan verstek
3)      Verzet mengakibatkan putusan verstek mentah kembali
4)      Pemeriksaan verzet, meliputi:
Ø Pemeriksaan berdasarkan gugatan semula
Ø  Isi verzet adalah tanggapan terhadap putusan verstek
Ø Verzet hanya mempermasalahkan alasan ketidakhadiran tergugat menghadiri pengadilan.
Ø Proses pemeriksaannya dengan acara biasa, yang diatur dalam pasal 129 ayat (3) HIR yang berbunyi :
“Surat perlawanan itu dimaksud dan diperiksa dengan cara yang biasa, yang diatur untuk perkara perdata”.[39]

Ø Surat perlawanan sebagai jawaban tergugat terhadap dalil Gugatan
Dalam surat perlawanan dapat diajukan eksepsi yaitu mencantumkan hal-hal berikut:
a)      Berisi eksepsi
b)      Berisi bantahan terhadap pokok perkara
c)      Permintaan penundaan eksekusi putusan verstek
d)        Menegakkan proses reflik dan duplik
e)         Membuka tahap proses pembuktian yang dilanjutkan dengan pengajuan konklusi
5)   Membacakan putusan verstek, yang kedudukannya sama dengan membacakan gugatan penggugat.[40]
6)   Membacakan verzet yang kedudukannya adalah sebagai jawaban tergugat, dan dapat mengajukan eksepsi maupun gugat rekonvensi
7)   Memberi kesempatan penggugat untuk mengajukan replik sekaligus jawaban atas gugatan rekonvensi
8)   Memberi kesempatan kepada tergugat mengajukan duplik sekaligus replik atas gugatan rekonvensi
9)   Memberi kesempatan rereplik/reduplik kepada kedua belah pihak bila diperlukan
10)    Memberikan beban bukti kepada pengguagt untuk membuktikan dalil gugatannya, dengan maksud bahwa bukti-bukti yang telah diajukan dalam putusan verstek mendapatkan tanggapan dari tergugat
11)    Memberi kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan bukti guna meneguhkan dalil bantahannya
12)    Kesimpulan dari kedua belah pihak sebaiknya diserahkan secara bersama-sama
13)    Musyawarah Majelis Hakim dan selanjutnya membacakan putusan

K.      Bentuk Upaya Hukum Verzet
Berdasarkan Pasal 129 ayat (1) HIR atau Pasal 83 Rv, menyatakan bahwa:
“Tergugat, yang dihukum sedang ia tidak hadir (verstek) dan tidak menerima putusan itu, dapat mengajukan perlawanan atas putusan itu.”

Berdasarkan Pasal 125 ayat (3) HIR atau Pasal 78 Rv, menegaskan bahwa:
“Jika surat gugatan diterima, maka atas perintah ketua diberitahukanlah keputusan pengadilan negeri kepada orang yang dikalahkan itu serta menerangkan pula kepadanya, bahwa ia berhak memajukan perlawanan (verzet) di dalam tempo dan dengan cara yang ditentukan pada pasal 129 tentang keputusan verstek di muka pengadilan.”

Melihat kepada kedua ketentuan diatas, dapat dikatakan bahwa apabila tergugat menerima putusan verstek, maka tergugat berhak mengajukan perlawanan (verzet).
Menurut pasal 129 ayat (1) dan pasal 83 Rv, yang berhak mengajukan perlawanan hanya:
a.       Terbatas pihak tergugat saja
b.      Pihak penggugat tidak diberikan hak mengajukan perlawanan

L.       Upaya Banding
Undang undang tidak memberi hak kepada penggugat mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek. Namun demikian, secara seimbang dan timbal balik, pasal 8 ayat (1) UU NO. 20 tahun 1947 memberi upaya hukum kepada penggugat berupa banding.[41] Ketentuan itu sesuai dengan penegasan putusan MA No. 524K/Sip/1975 yang menyatakan, verzet terhadap verstek hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara. Hal-hal yang perlu diketahui tentang upaya hukum pelawanan (verzet):
1)   Perlawanan (verzet) diajukan kepada peradilan yang memutus verstek
2)   Perlawanan diajuan oleh tergugat atau kuasanya;
3)   Diajukan dalam tenggang waktu
4)   Perlawanan bukan perkara baru
5)   Pemeriksaan dengan acara biasa
6)   Tergugat sebagai pelawan dan penggugat sebagai terlawan
7)   Membacakan putusan verstek
8)   Beban pembuktian dibebankan kepada Terlawan (Penggugat)
9)   Pelawan dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil bantahannya dalam kedudukannya sebagai Tergugat;
10)    Surat pelawanan sebagai jawaban Tergugat terhadap dalil gugatan
11)    Dalam surat perlawanan dapat dilakukan eksepsi
12)    Terlawan berhak mengajukan replik, dan Pelawan berhak mengajukan duplik
13)    Membuka tahap proses pembuktian

M.     Putusan Verzet
Apabila dalam putusan penyelesaian satu perkara diterapkan acara verstek yang dibarengi dengan acara verzet, maka Pengadilan akan menerbitkan dua bentuk putusan :
a)      Produk pertama, putusan verstek sesuai dengan acara verstek, yang digariskan pasal 125 ayat (1) HIR.
b)      Produk kedua, putusan verzet berdasarkan acara verzet yang diatur Pasal 129 ayat (1) HIR.
Kedua putusan itu saling berkaitan karena sama-sama bertitik tolak dari kasus yang sama. Akan tetapi, keberadaannya masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Secara teoritis, putusan verzet bersifat asesor terhadap putusan verstek. Artinya putusan verzet merupakan ikutan dari putusan verstek. Oleh karena itu, putusan verzet tidak mungkin lahir, kalau putusan verstek tidak ada.

N.       Bentuk Putusan Verzet
1.      Verzet tidak dapat diterima.[42]
a)    Apabila tenggang waktu mengajukan verzet yang ditentukan Pasal 129 ayat (1) HIR, telah dilampaui.
b)   Dalam kasus yang seperti itu, gugur hak mengajukan verzet dengan akibat hukum: tergugat dianggap menerima putusan verstek sekaligus tertutup hak tergugat mengajukan banding dan kasasi, dengan demikian putusan verstek  memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sedangkan menurut Pasal 123 ayat (1) HIR jo. SEMA No. 4 Tahun 1996: 
a)  gugatan tidak memiliki dasar hukum
b) gugatan eror in persona dalam bentuk diskualifikasi
c) gugatan mengandung cacat (obscur libel
d) gugatan melanggar kompetensi (yurisdiksi) absolut / relatif.

Dalam bentuk yang menyatakan verzet tidak dapat diterima, harus dicantumkan amar berisi penegasan menguatkan putusan verstek, sehingga amarnya berbunyi :
a)    Menyatakan pelawan sebagai pelawan yang tidak benar atau pelawan yang salah.
b)   Menyatakan perlawanan (verzet) dari pelawan tidak dapat diterima.
c)    Menguatkan putusan verstek.
2.      Menolak verzet, diktun putusan verzet mesti berisi :
a)    Menyatakan pelawan tidak benar
b)   Menolak verzet pelawan
c)    Menguatkan putusan verstek

3.      Mengabulkan verzet
       Dasar alasan pengabulan perlawanan terdiri dari dua faktor yaitu :[43]
1.     Tergugat tidak mampu membuktikan dalil gugatan
                    Sehubungan dengan itu,diktumnya memuat pernyataan :
a)    Menyatakan sebagai tergugat yang benar.
b)   Mengabulkan verzet
c)    Membatalkan putusan verstek
d)   Menolak gugatan penggugat

O.       Perlawanan dari Pihak Ketiga
Derden verzet adalah perlawanan dari pihak ketiga. Memang pada dasarnya putusan pengadilan hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga. Namun tidak tertutup kemungkinan ada pihak ketiga yang dirugikan oleh suatu putusan pengadilan. Terhadap putusan tersebut, pihak yang dirugikan dapat mengajukan perlawanan (derden verzet) ke akim Pengadilan yang memutus perkara tersebut.
            Caranya, pihak ketiga yang dirugikan, menggugat para pihak yang berperkara. Apabila perlawanan tersebut dikabulkan maka putusan yang merugikan pihak ketiga haruslah diperbaiki. Terhadap putusan perlawanan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali.[44]

2.6       RUANG LINGKUP EKSEPSI
A.      Pengertian dan Tujuan Eksepsi
Eksepsi atau exception berarti pengecualian. Dalam hukum acara perdata disebut tangkisan, bantahan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap penggugat. Tujuan dari eksepsi yaitu agar majelis hakim mengakhiri proses pemeriksaan perkara tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara dengan menjatuhkan putusan negatif, gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Eksepsi disusun dan diajukan berdasarkan isi gugatan yang dibuat penggugat dengan cara mencari kelemahan-kelemahan ataupun hal lain diluar gugatan yang dapat menjadi alasan menolak atau menerima gugatan. Berdasarkan keputusan itu, pemeriksaan perkara diakhiri tanpa menyinggung penyelesaian  materi pokok perkara.  Contoh : putusan MA No. 239k/sip/1986, yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima atas alasan tidak memenuhi syarat formil karena gugatan yang diajukan tidak berdasarkan hukum.[45]
B.     Cara Mengajukan Eksepsi 
Cara pengajuan eksepsi diatur dalam Pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134 dan Pasal 136 HIR. Berkenaan dengan ketentuan kapan eksepsi disampaikan dalam proses pemeriksaan, penyelesaikan eksepsi, pemeriksaan dan pemutusan perkara cara pengajuan yang dijelaskan dibawah ini :
1.      Saat pengajuannya.[46]
a)    Semua eksepsi, kecuali kompetensi absolut, harus disampaikan secara bersama-sama pada jawaban pertama terhadap pokok perkara
b)   Dengan ancaman, apabila tidak diajukan bersamaan pada jawaban pertama terhadap pokok perkara maka, hilang hak tergugat untuk mengajukan eksepsi
2.      Bentuk pengajuan.[47]
a)    Dapat dilakukan dengan lisan
b)   Berbentuk tertulis
Menurut Pasal 136 HIR, eksepsi yang tidak diajukan dengan jawaban pertama bersama-sama dengan keberatan terhadap pokok perkara, dianggap gugur. Oleh karena itu, eksepsi yang diajukan melampaui batas tidak dipertimbangkan oleh hakim. Pasal 114 Rv juga menegaskan bahwa, tergugat yang mengajukan eksepsi, wajib mengajukannya bersama-sama dengan jawaban mengenai pokok perkara.

C.    Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir atau Absolute Competency)  
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut dilakukan dengan:[48]
a)      proses pemeriksaan berlangsung disidang tingkat pertama
b)      Tergugat dapat dan berhak mengajukannya setiap proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan.[49]
c)      Dinyatakan oleh hakim secara ex-officio (Putusan MA No. 317 K/Pdt/1984), sesuai dengan bunyi Pasal 132 Rv yaitu:
 Dalam hal ini hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang”.[50]

d)     Masing-masing pengadilan mempunyai yurisdiksi tertentu. Hakim tingkat banding maupun kasasi wajib memeriksa dan memutus berdasarkan fungsi Ex-Officio yang digariskan pada pasal 134 HIR.[51]
Eksepsi berkaitan dengan kompetensi absolut yang diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban setelah pembacaan gugatan/permohonan pokok perkara, dan wajib diputus sebelum putusan pokok perkara. Namun, jika eksepsi menyangkut kewenangan relatif, maka majelis hakim dapat memutus sebelum maupun bersamaan dengan pokok perkara.
D.    Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie)
Pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dalam Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR. Menurut ketentuan tersebut, bentuk pengajuan eksepsi dapat berbentuk lisan dan tertulis (Pasal 125 ayat (2) Rv jo Pasal 121 HIR) yang diajukan pada saat menyerahkan Surat Jawaban/Eksepsi.[52] 
a)      Jenis Eksepsi Formil (formile exceptie)
1.    Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie) yaitu eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijke verklaard).[53]

2.    Eksepsi yang termasuk dalam kelompok ini antara lain sebagai berikut: [54]
§  Eksepsi Absolut
Bertujuan agar hakim menyatakan dirinya tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya, karena perkara tersebut bukan menjadi kewenangan badan peradilannya, tetapi pengadilan lain yang berwenang mengadilinya.[55]
§  Eksepsi Relatif
Eksepsi ini bertujuan agar hakim menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang memeriksadan memutuskan perkara karena perkara tersebut menjadi kewenangan pengadilan lain dalam satu lingkungan badan peradilan yang sama.[56]
3.      Ekseptio Res Judicata (Nebis In Idem/exceptie van gewijsde zaak), yaitu kasus perkara yang sama tidak dapat diperkarakan dua kali, karena sudah pernah diputus, diperiksa serta putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum.
4.      Eksepsi Gemis Aan Hoe Danig Heid yaitu untuk mengggalkan tujuan suatu gugatan karena penggugat tidak mempunyai kedudukan untuk mengajukan gugatan.

b)     Jenis Eksepsi Materiil (materiele exceptie)
Eksepsi ini ditujukan dengan tujuan agar hakim yamg memeriksa perkara yang sedang berlangsung tidak melanjutkan pemeriksaannya karena pemeriksaan tersebut dalil gugatannya bertentangan dengan hukum perdata.[57]
Eksepsi yang termasuk kelompok ini dapat dikelompokan sebagai berikut :
1.   Exceptio dilatoria,  yaitu penangguhan gugatan. Contoh: penggugat menagih utang kepada tergugat, namun belum pada masa yang ditentukan.
2.   Exceptio Peremtoria,  yaitu jenis eksepsi yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Contoh: tergugat mengakui telah membayar lunas hutang kepada peggugat.[58]
3.   Exceptio Non Pecuniae Numeratae, eksepsi yang berisikan sangkalan tergugat (tertagih), bahwa uang yang dijanjikan untuk dibayar kembali, tidak pernah diterima.
4.   Eksepsi Aan Hanging Beding yaitu perkara yang sama, masih dalam proses pengadilan lain, dan belum ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
5.   Eksepsi van Connexiteit yaitu perkara yang sama, ada hubungannya dengan perkara yang diperiksa di pengadilan lain serta belum ada keputusan tetap.
6.   Exceptio Doli Mali (exceptio doli presentis), yaitu keberatan mengenai penipuan yang dilakukan dalam perjanjian. Jadi eksepsi yang menyatakan penggugat telah menggunakan tipu daya dalam perbuatan perjanjian.[59]
7.   Eksepsi Plurium Litis Consortium yaitu para pihak dalam gugatan harus dicantumkan secara lengkap.
8.   Eksepsi Non Adimpleti Contractus yaitu penggugat tidak melakukan persetujuan, dan tergugat tidak memenuhi persetujuan.
9.   Eksepsi Obscuur Libel yaitu hakim memutuskan bahwa gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima karena gugatan yang diajukan tidak jelas permasalahannya (kabur).[60]
10.               Exceptio Metus yaitu gugatan penggugat yang bersumber dari perjanjian yang mengandung paksaan (dwang) atau compulsion (dures).[61]
11.               Exceptio non adimpleti contractus, yaitu masing masing pihak dibebani kewajiban (obligation) untuk memenuhi perjanjian.
12.               Exceptio Domini,yaitu bantahan yang menyatakan objek barang yang digugat bukan milik penggugat, tetapi milik orang lain atau milik tergugat.
13.               Exceptio Litis Pendentis, yaitu bantahan bahwa sengketa yang digugat oleh penggugat, sama dengan perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan.
14.               Eksepsi Error in Persona, yaitu apabila gugatan mengandung cacat error in persona yang disebut juga exceptio in person (penggugat bukan orang yang berhak). Bentuk atau jenis eksepsi ini meliputi peristiwa sebagai berikut :[62]
a)      Eksepsi diskulifikasi (gemis aanhoedanigheid), yaitu penggugat bukan orang yang berhak oleh karenanya tidak mempunyai hak dan kapasitas untuk menggugat.
b)      Keliru pihak yang ditarik sebagai tergugat,  sebagai contoh putusan MA no 601 K/Sip/1975, tentang seorang pengurus yayasan yang digugat secara pribadi untuk mempertanggung jawabkan sengketa yang berkaitan dengan yayasan. Namun dalam hal ini, yang ditarik adalah seorang yang hadir dalam peradilan.
16.  Exceptio Plurium Litis Consortium, yaitu apabila orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap.
17.  Exceptio Temporia (daluarsa) yaitu hakim memutus bahwa gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima karena perkara yang diajukan itu telah terlampaui waktunya.[63] Daluarsa merupakan suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang. [64]

E.     Cara Penyelesaian Eksepsi
Eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus oleh hakim sebelum memeriksa pokok perkara yang dituangkan oleh hakim dalam putusan sela (interlocutory) atau dituangkan dalam putusan akhir (eind vonnis, final judgement).[65] Eksepsi di luar berkenaan dengan kompetensi mengadili menurut Pasal 136 HIR dan Putusan MA No. 935 K/Sip/1985, diperiksa dan diputus secara bersama-sama dengan pokok perkara.

F.     Bantahan Terhadap Pokok Perkara
Bantahan terhadap pokok perkara disebut juga ver weer ten principale adalah tangkisan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara. Esensi dari bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan dikemukakan tergugat, baik dengan lisan atau tulisan untuk melumpuhkan kebenaran dalil gugatan yang dituangkan tergugat dalam jawaban.

G.           Bantahan Disampaikan dalam Jawaban
Jawaban tergugat berisi bantahan yang diajukan baik secara lisan dan tertulis untuk menyangkal semua fakta dan dalil hukum penggugat.[66] Proses pengajuan bantahan memberikan kesempatan para pihak untuk menyampaikan surat jawaban, replik dan duplik dan sebagai konsekuensinya.[67]
Suatu bantahan dalam sebuah jawaban berisi tentang ketidakbenaran dan/atau kebenaran dalil penggugat. Isi dari jawaban penggugat dapat berupa:
a)      Jawaban penggugat diserta alasan-alasan yang rasional dan objektif.[68]
b)      Membenarkan sebagian atau seluruh dalil-dalil gugatan penggugat.[69]
c)      Membantah dalil gugatan atau bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale) atau melumpuhkan kekuatan pembuktian tergugat, yang disertai dengan alasan-alasan kebenaran dalil gugatan atau peristiwa hukum yang terjadi.[70]
d)     Tidak memberi pengakuan maupun bantahan dengan menyerahkan sepenuhnya kepada hakim (referte aan het oordel des rechters) dalam jawaban.     
 
H.                Bantahan Beserta Eksepsi
          Jawaban yang berisi eksepsi dan pokok perkara harus dinyatakan secara sistematis dalam jawaban untuk memudahkan hakim mempelajari jawaban yang disampaikan. Sistematisasi jawaban dengan mendahulukan uraian eksepsi, pokok perkara dan kesimpulan.

2.7         REPLIK
Setelah  tergugat mengajukan jawaban, maka tahapan pemeriksaan diperkara dipengadilan selanjutnya adalah replik, yaitu jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik ini juga dapat diajukan oleh penggugat secara tertulis maupun lisan. Replik diajukan oleh penggugat untuk meneguhkan gugatannya dengan mematahkan  alasan-alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya.[71]
Replik biasanya berisi dalil-dalil atau hal-hal tambahan untuk menguatkan dalil-dalil gugatan Penggugat. Penggugat dalam replik ini dapat mengemukakan sumber-sumber kepustaaan, pendapat para ahli, doktrin, kebiasaan, dan sébagainya. Peranan Yurisprudensi sangat penting dalam replik, mengingat kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum.

2.8         DUPLIK
Setelah penggugat mengajukan replik, tahapan pemeriksaan selanjutnya adalah duplik yaitu jawaban tergugat terhadap replik yang diajukan penggugat. Sama halnya dengan replik, duplik ini pun dapat diajukan secara tertulis maupun secara lisan. Duplik diajukan tergugat  untuk meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan penggugat.[72]
Dalam praktek dipengadilan biasanya acara jawab menjawab antara penggugat dan tergugat berjalan secara tertulis oleh karna itu untuk mempersiapkan jawab menjawab tersebut diperlukan waktu yang cukup dengan menunda waktu selama 1 atau 2 minggu untuk tiap-tiap tahap pemeriksaan.
Apabila acara jawab menjawab antara pihak penggugat dan tergugat sudah selesai, maka tahapan selanjutnya adalah pembuktian. 


BAB III
PENUTUP

3.1              Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan materi diatas, penulis dapat memberikan kesimpulan bersifat fleksibel, dalam artian bahwa hukum yang diterapkan dalam acara perdata sangatlah elastis. Pemeriksaan dalam pengadilan dapat dilaksanakan berdasarkan hakim/majelis yang berwenang atas persetujuan para pihak.
Penulis hanya memberikan sedikit pemaparan bahwasanya, proses pemeriksaan sangatlah dibutuhkan sebagai alat bukti dan penguat posita maupun petitum atas gugatan konvensi, dan rekonvensi. Adapun eksepsi merupakan tinjauan tergugat mengenai penolakan atau keberatan terhadap gugatan penggugat, sehingga tergugat masih mampu mengajukan verzet apabila penggugat mengajukan verstek ke pengadilan. Dalam cakupanya, replik dan duplik menjadi salah satu penghubung jawaban atas para pihak yang bersengketa.
Pembuktian dalam persidangan akan dipandu oleh hakim majelis hingga pada kesimpulan dan putusan akhir.
Setiap sengketa di dalam hukum perdata, dianjurkan hakim menawarkan perdamaian dari para pihak guna menyelesaikan problem dengan lapang dada atau secara sepakat bersama-sama.
3.2              Kritik dan Saran
Penulis sangat mengharap banyak bimbingan dan perbaikan terkait makalah, karena masih banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun sistematis bahasa. Penulis juga berterimakasih kepada dosen pengampu yang senantiasa mengajar dengan seksama. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya. Besar harapan penulis kritik dan saran guna membangun supaya bisa lebih baik kedepanya.



DAFTAR PUSTAKA
Soepomo. 1993. Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita)
Rasyid, Roihan. 2013. Hukum Acara Peradilan Agama (edisi baru), (Jakarta: PT. Raja Grafindo)
Fauzan. 2005. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta : Kencana)
Manan, Abdul. 2008.  Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. (Jakarta:Kencana)
Bredit, Engel. 1992. Himpunan Peraturan Perundang Undangan RI, (Jakarta: Internusa)
Mertokusumo, Sudikno. 2013. Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty)
Harahap, Yahya. 2006. Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika)
Soesilo. 1985. RIB/HIR dengan Penjelasan,  (Bogor ; Politeia)
Rasyid, Roihan. 1998. Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Raja Grafindo Persada)
Mulyadi, Lilik. 1996. Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada Praktik Peradilan, (Jakarta: Djambatan)
Sugeng, Bambang dan Sujayadi. 2011. Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, ( Jakarta : Kencana)
Susantio, Retnowulan, dkk. 1997. Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek
Taufik Makarao. 2004.  Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata
Mertokusumo, Sudikno. 2006.  Hukum Acara Perdata Indonesia
Putusan Mahkamah Agung
Himpunan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung
Undang-Undang HIR dan RBG
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dikutip: http://www.hukumacaraperdata.com/2012/12/04/eksepsi-kewenangan-mengadili/, (Sabtu, 8 Oktober 2016, pukul: 09:38)




[1] pasal 118 ayat (1) dan pasal 121 ayat (4) HIR
[2]  Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty, 2013) h. 75
[3] Ibid., hlm. 104, poin 5 b
[4] Ibid., h. 105
[5] Pasal 121 ayat (1) HIR
[6] Pasal 390 ayat (1) HIR, pasal 871 ayat (1) RBg
[7] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.  42
[8] Ibid., h. 45                                   
[9] Roihan Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama (edisi baru), (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2013), h. 96
[10] Putusan MA No. 330K/Pdt/1986 tanggal 14-5-1987
[11] pasal 132 b ayat (1) HIR
[12] pasal 132 b ayat (2) HIR
[13] Himpunan Kaidah Hukum Putusan MA, tahun 1961-1991, MA 1993, hlm. 16.
[14] Pasal 132 b ayat (3) HIR
[15] Pasal 124 HIR (pasal 77 Rv) dan Pasal 125 ayat (1) HIR (pasal 73 Rv)
[16] Pasal 125-129 HIR, pasal 196-197 HIR, Pasal 148-153 Rbg dan 207-208 Rbg, UU NO. 20 tahun 1947 dan SEMA NO. 9/1964
[17] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 388-389
[18] Ibid., Yahya Harahap
[19] Ibid., Yahya Harahap
[20] Pasal 390 ayat (1) dan (3) HIR (pasal 6 ke-7 Rv)
[21] Pasal 390 ayat (2) HIR dan (pasal 7 Rv)
[22] Pasal 122 HIR (pasal 10 Rv)
[23] Pasal 127 HIR dan pasal 151 RBg
[24] Retnowulan susantio, dkk. Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (1997), hal. 22
[25] Pasal 150 RBg atau 126 HIR
[26] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 396
[27] Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, (Bogor ; Politeia, 1985), h. 86
[28] Raihan Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), h. 221
[29] Bambang  Sugeng dan Sujayadi. Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, ( Jakarta : Kencana, 2011), h.  90
[30] Pasal 129 (3) s/d (5) HIR/153 (3) s/d (5) RBg
[31] Pasal 125 (1) dan (2) HIR/152 (1) dan (2) RBg
[32] Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (2004), hal. 57
[33] Sudikno Mertokusumo,  Hukum Acara Perdata Indonesia (2006), hal. 109
[34] Fauzan. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005), h. 21-22
[35] Pasal 129 ayat (2) HIR jo. Pasal 207 RBg
[36] Lilik Mulyadi. Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada Praktik Peradilan, (Jakarta: Djambatan, 1996), H. 89
[37] Pasal 154 RBg atau pasal 130 HIR
[38] Pasal 4 ayat (1) Perma No.1 Tahun 2016
[39] Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, (Bogor ; Politeia, 1985), h. 86 
[41] Pasal 8 UU NO. 20 tahun 1947
[42] Yurisprudensi MA RI No.1149/K/Sip/1975 tanggal 17 April 1975 Jo Putusan MA  RI No.565/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1973, Jo Putusan MA  RI No.1149/K/Sip/1979 Tanggal 7 April 1979
[43] Yahya Harahap.  Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), h. 413
[44] Pasal 379-382 Rv
[45] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 418-419
[46] Pasal 114 Rv
[47] Opcit. Yahya Harahap, h. 29
[48] Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv
[50]  Engel Bredit. Himpunan Peraturan Perundang Undangan RI, (Jakarta: Internusa, 1992), h. 618
[51] Soepomo. Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), h. 52         
[52] Putusan MA No. 1340 K/Sip/1971
[53] Pasal 123 HIR dan SEMA No. 1 Tahun 1971 (23 januari 1971) jo. SEMA No. 6 Tahun 1994 (14 Oktober 1994)
[54] Pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv
[55] Pasal 134 HIR dan Pasal 160 RBg
[56] Opcit., Pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv
[57] Pasal 136 dan 114 Rv
[58] Pasal 1950, 1967 KUHPerdata dan Putusan MA No. 707 K/Sip/1972
[59] Pasal 1328 KUHPerdata
[60] Pasal 125 ayat 1 HIR,  pasal 149 ayat 1 RBg dan Putusan MA No. 1145 K/Pdt/1984
[61] Pasal 1323 dan 1324 KUHPerdata
[62] Putusan MA No.601 K/Sip/1975
[63] Pasal 1946 BW
[64] Abdul Manan. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. (Jakarta:Kencana. 2008),
  hal 218-223
[65] Pasal 136 HIR
[66] Pasal 121 ayat (2) HIR
[67] Pasal 142 dan Pasal 117 Rv
[68] Pasal 113 Rv
[69] Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUHPerdata
[70] Pasal 113 Rv
[71] Pasal 75 ayat (1) UU. No. 51/1986 Jo. UU NO. 9 Tahun 2004
[72] Pasal 75 ayat (2) UU.No. 5/1986 Jo. UU NO. 9 Tahun 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar