Powered By Blogger

Selasa, 26 April 2016

Kritis Pada Faham Radikalisme



KRITIS TERHADAP FAHAM  RADIKALISME
Negara Indonesia bukan Negara Islam, bukan pula Negara yang anti agama. Indonesia adalah Negara berdasarkan Pancasila yang menghormati keberadaan agama yang hidup dan berkembang di tengah masyarakatnya. Bangsa Indonesia merupakan Negara multicultural yang memilki banyak suku, budaya, adat, ras, golongan dan agama. Setiap kelompok masyarakat memilki kepentingan, sudut pandang dan cara berpikir yang berbeda-beda.
Dalam konteks menjalankan makna tata kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, semua mendasarkan diri pada aturan ketatanegaraan yang dipayungi oleh Pancasila dan UUD 1945. Namun demikian, saat ini kita menyaksikan sebuah perkembangan yang memperhatiakan yaitu berkembangnya pertarungan dua kutub pemikiran dan gerakan yang membahayakan eksistensi NKRI. Bayangan-bayangan radikalisme dan fundamentalisme atas nama agama disatu sisi dan pemikiran liberalisme serta sekularisme pada sisi yang lainya.
Kutub radikalisme dan fundamentalisme muncul dengan konsep-konsep pemikiran bahwa Negara ini dijalankan dengan sistem thagut yang harus diganti dengan jalan syaria islam sebagian dari mereka menjalankan aktifitas teror dengan melakukan aksi peledakan bom ditempat-tempat umum yang tak sedikit menimbulkan banyak korban. “Baiturrohman mengutakan secara lugas seputar akar sejarah munculnya pemikiran dan gerakan radikalisme di Indonesia yang tak bisa dilepas dari fakta bahwa terorisme dan radikalaisme berkaitan erat dengan gerakan islam garis keras sudah menjadi common sense di masyarakat”.[1]
Radikalisme disebagian masyarakat bisa muncul karena banyak hal, salah satunya karena lemahnya pemahaman agama. Radikalisme ini merupakan sasaran yang tepat bagi masyarakat yang memiliki pengetahuan lemah terhadap sentuhan-sentuhan tasawwuf. Sentuhan tersebut akan mendorong untuk memahi esensi dari perintah dan larangan agama secara meluas.
Selain itu, paham ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga menjadi rahasia bahwa radikalisme lebih sering dimotivasi oleh persoalan-persoalan ekonomi ketimbang masalah agama. Peningkatan kesejahteraan dapat diartikan sebagai pemberdayaan ekonomi kerakyatan, peningkatan lapangan kerja dan pemerataan pendapat.
Gejala kekerasan “AGAMA” lebih tepat dilihat dari segi sosial-politik daripada gejala keagamaan. Menurut azyumardi azra bahwa “memburuknya posisi Negara-negara muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopang utama munculnya radikalisme”. Secara historis kita dapat memelihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasanya dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik.
Pada tanggal 27 juli digelar Symposium memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme, yang mana Symposium tersebut telah bekerjasama dengan Menkopulhukam, Polri, UIN Jakarta, UI, Lazuardi Biru, dan LSI menghasilkan 10 rekomendasi adalah mengkaitkan radikalisme dengan terorisme, menutup akses publik, dan mengkriminalkanya. Sehingga dibentuklah sebuah gerakan sistematis untuk mengkriminalkan dan menteroriskan individu atau kelompok yang memperjuangkan syariah dan khilafah.
Sekarang ini kita bisa menyaksikan begitu gencarnya propaganda untuk memanipulasi opini bahwa radikalisme adalah ancaman bagi Negara kita. Sedangkan mereka menyebut radikalisme adalah kelompok anti demokrasi dan anti pluralisme untuk selanjutnya mereka sebut anti NKRI, anti Pancasila, anti UUD 45, anti kebhinekaan. Mereka memburuk-burukkan kelompok radikal lain dengan propaganda kasus Ahmadiyah di Indonesia. Diberbagai media terlihat berita-berita tentang mempropagandakan radikalisme sebagai ancaman dan sumber terorisme. Secara substansi propaganda tersebut merupakan manipulasi fakta dan manipulasi masyarakat dengan permainan opini. Ini adalah fitnah yang dilakukan secara sistematis dengan menggunakan organ neraga dan unsur masyarakat dengan undang-undang dan peraturan pemerintah.
Pertanyaan yang mendasar bagi kita ialah mengapa ada upaya menteroriskan dan apa yang mereka sebut kelompok radikal ? . . .
Mereka yang menganggap radikal mempunyai pendapat dan pandangan politik yang berbeda, yang telah tercampuri oleh Negara barat. Barat melihat kelompok politik islam telah mulai mengusung ide syariah dan khilafah yakni ancaman bagi ideology kapitalisme terlebih sekarang ini Negara-negara barat menghadapi kebangkrutan ideology dari kemerosotan moral, kerusakan masyarakat, hingga kebangkrutan ekonomi. Termasuk kekalahan perang di Irak dan Afganistan. Realitanya, Negara-negara islam sekarang di dominasi oleh nilai dan system kehidupan barat, serta terjadinya eksploitasi. Di dalam demokrasi kita dapat melihat suburnya kerusakan moral, kejahatan, moral, korupsi dan penipuan elit terhadap masyarakat serta penghisapan sumber daya ekonomi rakyat oleh kaum kapitalis. Berdasarkan fakta 10 rekomendasi symposium dan gerakan-gerakan untuk merealisasikanya adalah turunan dari sikap politik barat khususnya Amerika Serikat. Negara barat adalah regulator islam sebagai bagian dari radikalisme. kita dapat mensadari bahwa propaganda yang dijalankan oleh Negara barat tidak lebih dari sekedar makelar penjajah.
Oleh karena itu, masyarakat dituntut untuk bisa menjaga keutuhan bangsa dengan memperjuangkan syariah dan khilafah yang dilakukan secara intelektual dan non-kekerasan. Politik islam berarti bagaimana masyarakat diatur dan diurus dengan syariat islam yang formalisasi dan insitusi. Maka dari itu, niat dan amal yang mulia bagi kelompok yang mau memperbaiki nasib umat dan dunia dari segala kerusakan ataupun kedzaliman akibat penjajahan dengan konsepsi nilai dan system islam.[2]
Radikalisme dapat menjadi agama yang berbahaya bagi kehidupan masyarakat terutama di Indonesia. Menurut data Biro Pusat Statistik pada tahun 2005, agam islam di Indonesia teteap merupakan agama dengan jumlah pemeluk terbesar, yaitu sekitar 87,2 % dari jumlah penduduk, dan diikuti dengan pemeluk agama Kristen sebanyak 9,5 %.[3]
Salah satu contoh radikalisme beragama gaya baru ISIS rekrut anggota. Selama ini ISIS mencoba menggerakkan dan mengarahkan opini penegak ke khilafahan, namn berbanding terbalik dengan fakta. Untuk mengantisipasi hal tersebut, masyarakat ditinjau untuk tetaap waspada dan berhati-hati karena ancaman bisa muncul dari manapun, termasuk dari ajaran pendidikan.
Menurut saya, untuk meminimalisir adanya paham radikalisme di Indonesia harus diterbitkan buku yang menghantarkan masyarakat untuk bisa berpikir rasio dan membimbing masyarakat untuk memahami islam secara benar serta memberikan sosialisasi ataupun arahan-arahan yang mendidik. Dengan adanya pendidikan dan praktek secara baik dan benar maka akan mendidik anak bangsa lebih berpikir ke depan, sehingga mampu menjadi penerus bangsa yang militan, jujur, adil dan bertanggung jawab.



[1] Evi, “Merajut Benang Kebersamaan Menuju Indonesia Damai”. (Gedung World Trade Center Washington DC:Amerika Serikat) 11 September 2001.
[2] Muttaqin hidayatullah. HTI Kalsel. (Banjarmasin 2010).
[3] Mujiburrohman. “Muslim Christian Relations In Indonesia’s New Order”. (Leiden:Amsterdam University, press. 2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar