KRITIS TERHADAP FAHAM RADIKALISME
Negara Indonesia bukan Negara Islam, bukan pula Negara yang anti
agama. Indonesia adalah Negara berdasarkan Pancasila yang menghormati
keberadaan agama yang hidup dan berkembang di tengah masyarakatnya. Bangsa
Indonesia merupakan Negara multicultural yang memilki banyak suku, budaya,
adat, ras, golongan dan agama. Setiap kelompok masyarakat memilki kepentingan,
sudut pandang dan cara berpikir yang berbeda-beda.
Dalam konteks menjalankan makna tata kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan, semua mendasarkan diri pada aturan ketatanegaraan
yang dipayungi oleh Pancasila dan UUD 1945. Namun demikian, saat ini kita
menyaksikan sebuah perkembangan yang memperhatiakan yaitu berkembangnya
pertarungan dua kutub pemikiran dan gerakan yang membahayakan eksistensi NKRI. Bayangan-bayangan radikalisme dan fundamentalisme atas nama agama
disatu sisi dan pemikiran liberalisme serta
sekularisme pada sisi yang lainya.
Kutub radikalisme dan fundamentalisme muncul dengan konsep-konsep
pemikiran bahwa Negara ini dijalankan dengan sistem “thagut”
yang harus diganti dengan jalan syaria islam sebagian dari mereka menjalankan
aktifitas teror dengan melakukan aksi peledakan bom ditempat-tempat umum yang
tak sedikit menimbulkan banyak korban. “Baiturrohman mengutakan secara lugas
seputar akar sejarah munculnya pemikiran dan gerakan radikalisme di Indonesia
yang tak bisa dilepas dari fakta bahwa terorisme dan radikalaisme berkaitan
erat dengan gerakan islam garis keras sudah menjadi common sense di
masyarakat”.[1]
Radikalisme disebagian masyarakat bisa muncul karena banyak hal,
salah satunya karena lemahnya pemahaman agama. Radikalisme ini merupakan
sasaran yang tepat bagi masyarakat yang memiliki pengetahuan lemah terhadap
sentuhan-sentuhan tasawwuf. Sentuhan tersebut akan mendorong untuk memahi
esensi dari perintah dan larangan agama secara meluas.
Selain itu, paham ini juga bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, sehingga menjadi rahasia bahwa radikalisme lebih sering
dimotivasi oleh persoalan-persoalan ekonomi ketimbang masalah agama. Peningkatan
kesejahteraan dapat diartikan sebagai pemberdayaan ekonomi kerakyatan, peningkatan
lapangan kerja dan pemerataan pendapat.
Gejala kekerasan “AGAMA” lebih tepat dilihat dari segi sosial-politik
daripada gejala keagamaan. Menurut azyumardi azra bahwa “memburuknya posisi Negara-negara
muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopang utama munculnya
radikalisme”. Secara historis kita dapat memelihat bahwa
konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat
kekerasanya dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata
lebih berakar pada masalah sosial-politik.
Pada tanggal 27 juli digelar Symposium memutus
Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme, yang mana Symposium tersebut telah
bekerjasama dengan Menkopulhukam, Polri, UIN Jakarta, UI, Lazuardi Biru, dan
LSI menghasilkan 10 rekomendasi adalah mengkaitkan radikalisme dengan
terorisme, menutup akses publik, dan mengkriminalkanya. Sehingga dibentuklah sebuah gerakan sistematis untuk
mengkriminalkan dan menteroriskan individu atau kelompok yang memperjuangkan
syariah dan khilafah.
Sekarang ini kita bisa menyaksikan begitu gencarnya propaganda
untuk memanipulasi opini bahwa radikalisme adalah ancaman
bagi Negara kita. Sedangkan mereka menyebut radikalisme adalah kelompok anti
demokrasi dan anti pluralisme untuk selanjutnya mereka sebut anti NKRI, anti
Pancasila, anti UUD 45, anti kebhinekaan. Mereka memburuk-burukkan kelompok
radikal lain dengan propaganda kasus Ahmadiyah di Indonesia. Diberbagai media
terlihat berita-berita tentang mempropagandakan radikalisme sebagai ancaman dan
sumber terorisme. Secara substansi propaganda tersebut merupakan manipulasi fakta dan
manipulasi masyarakat dengan permainan opini. Ini adalah fitnah
yang dilakukan secara sistematis dengan menggunakan organ neraga dan unsur
masyarakat dengan undang-undang dan peraturan pemerintah.
Pertanyaan yang mendasar bagi kita ialah mengapa ada upaya
menteroriskan dan apa yang mereka sebut kelompok radikal ? . . .
Mereka yang menganggap radikal mempunyai pendapat dan pandangan
politik yang berbeda, yang telah tercampuri oleh Negara barat. Barat melihat
kelompok politik islam telah mulai mengusung ide syariah dan khilafah yakni
ancaman bagi ideology kapitalisme terlebih sekarang ini Negara-negara barat
menghadapi kebangkrutan ideology dari kemerosotan moral, kerusakan masyarakat,
hingga kebangkrutan ekonomi. Termasuk kekalahan perang di Irak dan Afganistan.
Realitanya, Negara-negara islam sekarang di dominasi oleh nilai dan system
kehidupan barat, serta terjadinya eksploitasi. Di dalam demokrasi kita dapat
melihat suburnya kerusakan moral, kejahatan, moral, korupsi dan penipuan elit
terhadap masyarakat serta penghisapan sumber daya ekonomi rakyat oleh kaum
kapitalis. Berdasarkan fakta 10 rekomendasi symposium dan gerakan-gerakan untuk
merealisasikanya adalah turunan dari sikap politik barat khususnya Amerika
Serikat. Negara barat adalah regulator islam sebagai bagian dari radikalisme. kita
dapat mensadari bahwa propaganda yang dijalankan oleh Negara barat tidak lebih
dari sekedar makelar penjajah.
Oleh karena itu, masyarakat dituntut untuk bisa menjaga keutuhan
bangsa dengan memperjuangkan syariah dan khilafah yang dilakukan
secara intelektual dan non-kekerasan. Politik islam berarti bagaimana
masyarakat diatur dan diurus dengan syariat islam yang formalisasi dan
insitusi. Maka dari itu, niat dan amal yang mulia bagi kelompok yang mau
memperbaiki nasib umat dan dunia dari segala kerusakan ataupun kedzaliman
akibat penjajahan dengan konsepsi nilai dan system islam.[2]
Radikalisme dapat menjadi agama yang berbahaya bagi kehidupan
masyarakat terutama di Indonesia. Menurut data Biro Pusat Statistik pada tahun
2005, agam islam di Indonesia teteap merupakan agama dengan jumlah pemeluk
terbesar, yaitu sekitar 87,2 % dari jumlah penduduk, dan diikuti dengan pemeluk
agama Kristen sebanyak 9,5 %.[3]
Salah satu contoh radikalisme beragama gaya baru ISIS rekrut
anggota. Selama ini ISIS mencoba menggerakkan dan mengarahkan opini penegak ke
khilafahan, namn berbanding terbalik dengan fakta. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, masyarakat ditinjau untuk tetaap waspada dan berhati-hati karena
ancaman bisa muncul dari manapun, termasuk dari ajaran pendidikan.
Menurut saya, untuk meminimalisir adanya paham radikalisme di
Indonesia harus diterbitkan buku yang menghantarkan masyarakat untuk bisa
berpikir rasio dan membimbing masyarakat untuk memahami islam secara benar
serta memberikan sosialisasi ataupun arahan-arahan yang mendidik. Dengan adanya pendidikan dan praktek secara
baik dan benar maka akan mendidik anak bangsa lebih berpikir ke depan, sehingga
mampu menjadi penerus bangsa yang militan, jujur, adil dan bertanggung jawab.
[1] Evi, “Merajut
Benang Kebersamaan Menuju Indonesia Damai”. (Gedung World Trade Center
Washington DC:Amerika Serikat) 11 September 2001.
[2] Muttaqin
hidayatullah. HTI Kalsel. (Banjarmasin 2010).
[3]
Mujiburrohman. “Muslim Christian Relations In Indonesia’s New Order”. (Leiden:Amsterdam
University, press. 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar