Powered By Blogger

Sabtu, 23 April 2016

PERBANDINGAN KESETARAAN GENDER DALAM PEMBAGIAN WARISAN
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT MASYARAKAT KUDUS

MOH DURRUL AINUN NAFIS (C01215020)
DAYU WINDA RATRI (E0003127)
Hukum dan Masyarakat

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan pembagian warisan menurut hukum waris Islam dan hukum adat masyarakat Kudus, lebih spesifik mengkaji pembagian harta antara laki-laki dan wanita karena kedua sistem hukum ini kemudian akan dikaji dari perspektif gender. Penelitian ini juga bertujuan menemukan kesesuaian atau ketidaksesuaian nilai dari hukum Islam dan hukum adat masyarakat Kudus dalam pembagian warisan dengan prinsip kesetaraan gender.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Pendekatan yang digunakan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang mencakup dokumen resmi, peraturan-peraturan, hasil karya tulis atau hasil penelitian, buku dan sebagainya. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan cara content analysis (analisis isi) terhadap ketetapan pengaturan pembagian waris menurut hukum Islam, hukum adat masyarakat Kudus, dan nilai dari kesetaraan gender.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan pembagian waris menurut hukum Islam adalah berdasarkan ketetapan yang diatur dalam Al Qur’an, Hadits Rasulullah atau As Sunah, dan Ijtihad para sahabat. Dalam Al Qur’an pengaturan intinya ada dalam Q.S An Nisa’ ayat 11, 12, dan176. Penerima harta waris menurut hukum Islam diperhitungkan bagian harta warisan antara laki-laki dan wanita adalah 2:1 yaitu laki-laki mendapat dua kali bagian dari wanita, hal ini karena beban, tanggungjawab dan pengeluaran laki-laki terhadap keluarga lebih besar dibandingkan wanita yang tidak mempunyai kewajiban tanggungjawab harta pada keluarganya. Dan perbandingan 2:1 tidak berlaku seluruhnya, melainkan dalam beberapa kondisi berlaku perbandingan yang sama 1:1 jika mengikuti hukum adat masyarakat. Hukum adat masyarakat Kudus dalam pengaturan pembagian waris secara mendasar menggunakan hukum kewarisan Islam. Dan dari hasil penelitian, hukum kewarisan Islam yang dipakai sebagai landasan hukum waris adat masyarakat Kudus masih dilaksanakan secara murni artinya tidak ada penyimpangan kaidah yang mendasar atau mengubah substansi. Jika ada perbedaan antara hukum kewarisan Islam dengan hukum waris adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Kudus, hal itu merupakan suatu bentuk penyesuaian antara kaidah yang telah ditetapkan dalam hukum Islam dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, namun bukan suatu bentuk penyimpangan.Dari penelitian ini diketahui adanya kesesuaian dan ketidaksesuaian antara nilai dalam pembagian waris menurut hukum waris Islam dan hukum adat masyarakat Kudus dengan prinsip kesetaraan gender.

Berdasarkan pendapat lain, perbandingan pembagian harta waris 2:1 antara laki-laki dan perempuan jika dikaitkan dengan gender maka untuk mengukur keadilannya dalam ilmu waris dapat berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing.
Semisal dalam studi kasus, ada sebuah keluarga dengan 2 anak, laki-laki dan perempuan. Dizaman modern ini, jika pekerjaan suami tidak menjadi jaminan untuk menghidupi keluarga maka istri juga bisa ikut serta membantu bekerja sebagai cadangan biaya kebutuhan keluarga tersebut. Lantas kalau orang tua meninggal bagaimana pembagian waris tersebut? Padahal si istri juga ikut membiayai kebutuhan keluarga? Jika diterapkan sistem pembagian 2:1 dimana letak keadilanya?
Menurut penjelasan Bapak Dr. H. Darmawan, SHI., MHI Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya (17-03-2016), ada beberapa ketentuan antara laki-laki dan perempuan, yaitu:
1.      Istri (Perempuan) selalu terpenuhi segala kebutuhannya, karena nafkahnya menjadi tanggung jawab anak laki-lakinya, ayahnya, saudara laki-lakinya, dan setelah menikah, tanggung jawab suaminya.
2.      Istri (Perempuan) tidak punya kewajiban menafkahi keluarga, sedangkan suami (laki-laki) mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabatnya.
3.      Suami (laki-laki) ketika menikah, mempunyai kewajiban membayar mahar, disamping menyediakan tempat tinggal dan memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya setelah berumah tangga.
4.      Biaya pendidikan dan pengobatan anak-anak dan istri adalah tanggung-jawab suami (laki-laki).


Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 176 tentang waris dijelaskan bahwa:[1]
“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.”

وَإِن كَانُوٓاْ إِخۡوَةٗ رِّجَالٗا وَنِسَآءٗ فَلِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِ
Artinya: “Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan”.(QS. An-Nisa’ : 176)

Dalam surat tersebut menggambarkan bahwa pembagian waris 2:1 sudah adil. Letak keadilanya sesuai dengan hak dan kewajiban antara suami dan istri karena suami memiliki tanggung jawab yang besar atas keluarganya sedangkan istri tidak berkewajiban memberikan nafkah dan istri masih bisa mendapat warisan dari orang tua.
Jika setelah dihitung dari sepeninggalan orang tua (ayah) hasilnya adalah Anak laki-laki mendapat lebih banyak dibanding Anak perempuan. Kemudian suatu hari Anak laki-laki menikahi seorang anak perempuan maka harta waris anak laki-laki (suami) akan turun bersama anak perempuan (istri). Sedangkan disisi lain si istri sudah mendapatkan harta warisan dari ayahnya yang meninggal. Maka jika digabung hasilnya sesuai dengan hitungan akhir berdasarkan asas keadilan yaitu asas yang mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus di tunaikanya. Misalnya, Laki-laki dan perempuan mendapatkan hak yang sebanding dengan kewajiban yang di pikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan bermasyarakat seorang laki laki menjadi penanggung jawab daalam kehidupan keluarga. Mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya sesuai kemampuanya.


 


[1]  Kompilasi Hukum Islam (penerbit: Media Centre), hlm. 174

Tidak ada komentar:

Posting Komentar