Nama : MOH DURRUL AINUN NAFIS
NIM : (C01215020)
Prodi :
Ahwal Al Syahksiyah
Dosen Pengajar :
Drs. Ita Musarrofa MHI. M.Ag.
Review Buku :
Islam Dan Pluralisme Agama
Penulis Buku :
Dr. Ngainun Naim
Diterbitkan
oleh : Aura Pustaka Yogyakarta
Dicetak oleh :
Lingkar Media Kotagede Yogyakarta
Spesifikasi
Buku : xiv + 253 hlm; 16 x 24 cm
Cetakan : Ke-3 pada Juli 2015
ISBN :
978-602-9969-88-7
DINAMIKA
PEREBUTAN MAKNA
ANTARA
ISLAM DAN PLURALISME AGAMA
Sebelum
membangun pemahaman yang lebih komprehensif terhadap makna pluralisme, perlu
adanya pemahaman yang lebih mendalam tentang pengertian agama karena dalam
kehidupan masyarakat didampingi dengan agama sebagai penuntun hidup.
Implikasinya, definisi agama masih abnyak menjadi perdebatan dan sulit untuk
dibuat rumusan yang bisa disepakati oleh semua pihak, sehingga tidak salah jika
W.H. Clark menyatakan bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari
kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama. Clark berpendapat
bahwa pengalaman agama adalah subjectif, intern, dan individual. Oleh karenanya
umumnya orang lebih condong untuk mengaku beragama, kendati ia tidak
menjalankan ajaran agama tersebut karena setiaporang merasakan pengalaman
beragama yang berbeda-beda.[1]
Kesulitan
dalam mendefinisikan agama kemudian melahirkan beberapa cara untuk dapat
memahaminya, salah satunya ialah dengan melacak asal-usul sejarah dan makna
dasarnya. Secara etimologi, “agama” diambil dari bahasa sansakerta yang
bermakna sistem kepercayaan dalam Hinduisme dan Buddisme. Secara terminologi, “Agama”
terdiri dari kata “A” yang berarti “Tidak” dan kata “Gama”
ang berarti “Kacau”. Sehingga dengan demikian agama dapat diartikan
aturan atau tatanan untuk mencegah kekacauan dalam kehidupan manusia.[2]
Pengertian
berbeda dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa agama didefinisikan sebagai: (1)
Pengakuan terhadap aturan Tuhan yang harus dipatuhi (2) Pengakuan terhadap Tuhan
yang berkuasa atas manusia (3) Mengikatkan diri manusia terhadap penciptaan Tuhan
(4) Kepercayaan terhadap Tuhan menimbulkan cara hidup tertentu (5) Suatu
tingkah laku berasal dari Tuhan (6) Pengakuan terhadap adanya kewajiban2 yang
harus di yakini (8) Pemujaan terhadap Tuhan (9) Ajaran2 yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui
perantaranya. Dalam cakupan yang lebih terperinci agama memiliki fungsi
motivatif, kreatif dan inovatif, integratif, dan sublimatif. Sehingga agama
tidak akan lepas dari adanya prilaku manusia untuk saling mendukung serta
toleransi. Cakupan tersebut dapat ditinjau dari faham pluralisme yang katanya
berasal dari kata plural (banyak)
atau bentuk kata lainya “form of word used with reference to more than one”.[3] Namun
dalam substansinya, pluralisme termanifestasi dalam sikap untuk saling
menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya
keadaan. Wacana pluralisme dalam realitasnya membangun pertalian
sejatinkebhinekaan dalam ikatan keadaban. Bahkan dikatakan pluralisme merupakan
keharusan bagi keselamatan umat manusia yang diantaranya dapat dilakukan
melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan diantara kelompok masyarakat.[4]
Kata
pluralisme memiliki makna yang beragam dan bentuk yang luas selain pluralisme
agama seperti pluralisme budaya, sosial, ekonomi, hukum dan sebagainya. Nilai2
pluralisme memiliki akar yang cukup kuat dalam ajaran islam. Seperti dalam
Al-Qur’an dan AS-Sunnnah kedua sumber
pokok tersebut mengajarkan tentang keharusan mengembangkan pluralisme seperti
yang dijelaskan dalam Al-Qur’an :
“Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki2 dan perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.....”.
(Q.S. Surat Al-Hujurat
(49) ayat 13).
Secara
prinsip, ada beberapa hal mendasar yang harus ditegaskan tentang pluralisme
agama, yaitu sebagai berikut :
1) Pluralisme agama memiliki tujuan terciptanya harmoni.
Pemahaman secara objektif terhadap realitas keagamaan bukan bertujuan untuk
menyatukan terhadap keragaman, sebab keragaman merupakan usaha yang mereduksi
identitas ang unik dari masing2 agama.
2) Pluralisme agama berikhtiar untuk mencari dimensi yang
memungkinkan terciptanya konvergensi bukan konsensus.
3) Pluralisme agama mengedepankan kepercayaan bukan
persetujuan.
===============================================================
- PLURALISME
AGAMA DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI -
Teologi
secara etimologis berasal dari kata “theos” yang berarti Tuhan, dan “logos”
yang berarti ilmu.[5]
Sedangkan secara terminologis, teologi adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan
dan segala sesuatu yang terkait denganya, hubungan manusia denga Tuhan serta
hubungan Tuhan dengan manusia.[6]
Teologi bukan berasal dari khazanah tradisi islam melainkan berasal dari
tradisi gereja kristiani. Namun demikian, kata teologi masuk ke khazanah islam
dan mengalami perluasan makna.
Teologi
mengandung dua kelompok ajaran, yaitu ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan
melalui rasul2nya kepada umat manusia dan pejelasan2
para pemuka atau pakar agama ang membentuk ajaran agama. Ajaran tersebut
bersifat absolut, mutlak, tidak berubah dan tidak bisa dirubah. Tetapi menurut
ahli agama bersifat relatif, nisbi, bisa berubah, dan dapat diubah sesuai
perkembangan zaman.[7] Dilihat
dari struktur ilmu pengetahuan, teologi mencakup kriteria saintifik yaitu
penggunaan akal dengan segala kemampuan analisisnya,generalisasinya, dan hukum2
penarikan kesimpulan terhadap data pengalaman. Dengan demikian, ada satu
faktor yang mendasar yang membedakan antara teologi dengan pengetahuan ilmiah
pada umumnya, yaitu teologi mendasarkan diri kepada wahyu Tuhan sedangkan ilmu
pengetahuan mendasarkan indrawi dan pemikiran rasional. Namun jika ditinjau
dari aspek subjek dan objeknya ternyata ada kesamaan, yaitu : subjeknya sama2
yaitu manusia dan objek
pembahasanya sama yaitu Tuhan.[8]
Menurut Raimundo Panikkar ada tiga
macam sikap keagamaan manusia : eksklusif, inklusif, dan plural. Sikap
eksklusif artinya seseorang menganggap bahwa hanya agamanya saja yang benar
sementara yang lain salah. Sikap inklusif artinya seseorang yang beranggapan
bahwa agamnya yang paling benar tetapi agama yang lain mengandung kebenaran.
Sikap plural artinya seseorang menganggap bahwa semua agama sama dan mengandung
kebenaran masing-masing.[9]
Pluralismeagama sering diterima
sebagai Pluralisme de facto, yaitu suatu bentuk pengakuan pluralisme
yang hanya sementara dan manusia secara bertahap akan menemukan kebenaran
agama. Pluralisme seperti ini sangat rentan dengan ketegangan dan konflik,
karena konsep itu hanya menangguhakan suatu bentuk kompetisi dalam maslaah
superioritas agama, tetapi tidak memecahkan masalah.
Seharusnya seseorang dikatakan “Orang
itu baik berkat agama yang dianutnya”. Nilai dan kekhasan agama lain
sungguh dihargai. Ini merupakan titik tolak pluralisme yang lebih dalam yaitu Pluralisme
de jure. Pluralisme ini sangat mendasar karena perdebatan merupakan sarana
untuk bisa mengungkapkan kekayaan misteri Tuhan.
Perbedaan
agama bukan untuk dipertentangkan, tetapi yang menjadi tantangan untuk dijawab.
Mempertentangkan perbedaan jelas akan memicu adanya konflik. Perbedaan harus
dilihat sebagai realitas yang harus sikapi secara konstruktif. Pandangan
tersebut sebagai bentuk semangat humanitas dan universalitas. Pandangan
pluralisme semacam ini diharapkan akan menumbuhkan kesadaran bersama untuk
saling menghormati dan menghargai, meskipun agama yang dianut berbeda-beda.
================================================================
-PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT-
Dalam
perspektif filsafat, pluralisme merupakan paham yang beranggapan bahwa realitas
itu tidak hanya terdiri dari satu substansi atau dua substansi, melainkan
terdiri dari bnayak substansi.[10]
Pandangan filosof terhadap pluralisme terus mengalami perkembangan. Pada masa
skolastik, muncul persoalan yaitu bagaimana pluralitas dapat terjadi? Padahal
Tuhan itu satu, samentara dalam kenyataannya hidup di dunia mencerminkan adanya
pluralitas. Ada tiga alternatif untuk menghadapi pluralisme agama. Pertama, anggapan
bahwa hanya satu agama yang benar. Kedua, sikap acuh tak acuh, sikap ini
beranggapan bahwa bukan hanya satu agama yang benar tetapi agama tidak lebih
benar dari yang lain. Ketiga, Hanya agama sendiri yang benar atau segala
agama benar.
Ditinjau dari sudut bahasa, kata “filsafat”
berarti kekal, abadi, atau selamanya. Sementara ditinjau dari perspektif
terminologis, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyid Husein Nasr bahwa filsafat
sebagai suatu kebenaran abadi dan kekal didalam semua pusat tradisi suci, menyangkut adanya doktrin dan ajaran
metafisika yang bersifat universal.[11]
Menurut pemikiran Ficino ada aspek penting tentang filsafat yang harus difahami
yaitu bahwa filsafat dan teologi berasal dari satu sumber yang disebut sebagi
puncak kebenaran (The Fountain Of
Truth). Baginya filsafat sejati adalah Platonisme dan teologi yang
berkembang sejak dahulu, diduga sejak dari Nabi Musa.
Pada abad ke-19 dan 20, terdapat
filsafat parennial yaitu filsafat yang mengandung trans-histotis kuat. Istilah
filsafat parennial mulai populer di Barat karena karya yang di buat oleh Aldous
Huxley yang berisi tentang eksistensi dan kebijaksanaan parennial abadi melalui
pilihan atas sejumlah ucapan yang diambil dari berbagai tradisi. Ditinjau dari
perspektif filsafat parennial, pluralisme gama merupakan sebuah keniscayaan.
Hal ini karena pluralisme merupakan bagian dari hukum Tuhan yang tidak mungkin
untuk dihapuskan. Pendekatan parennial terhadap agamaditandai dengan sudut
pandang yang baik, yaitu senantiasa menghubungkanya dengan substansi agama.
Sehingga filsafat parennial memberikan apresiasi dan pandangan yang positif.
===============================================================
PLURALISME
AGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA
Ditinjau
dari perspektif islam, esensinya islam
memandang manusia dan kemanusiaan secara sangat positif dan optimis. Berasal
dari nenek moyang yang sama, namun kemudian manusia menjadi bersuku-suku,
berkaum-kaum, dan berbangsa-bangsa lengkap dengan kebudayaan dan peradaban khas
masing2. Semua perbedaan ini mendorong mereka untuk saling mengenal,
menumbuhkan apresiasi dan respek satu sama lain. Perbedaan diantara umat
manusia, dalam pandangan isla bukanlah karena warna kulit dan bangsa tatapi
hanya tergantung pada tingkat ketakwaan masing2. Inilah yang menjadi
perspektif islam tentang “Kesatuan umat manusia yang pada gilirinya akan
mendorong berkembangnya solidaritas antar manusia”.[12]
Dalam
membangun relasi antara Muslim da Non-Muslim, hal penting yang harus dilakukan
adalah melakukan dialog secara konstruktif. Dialog semacam ini dapat dilandasi
oleh sikap yang saling menghormati antar umat beragama. Berkaitan dengan
pandangan islam terhadap pluralisme agama, pemikir intelektual Khaled M. Abou
El Fadl berpendapat bahwa relasi Muslim da Non-Muslim memiliki akar problematika,
tetapi problematika tersebut karena didalam kalangan umat islam sendiri
terdapat perbedaan cara pandang terkait dengan hubungan itu sendiri,
keselamatan dan siksa neraka. Umat islam terpecah menjadi dua yaitu puritan dan
moderat. Bagi puritan, keselamatan di Hari Akhir hanya dimiliki oleh kaum
Muslim. Umat islam yang tidak memeluk keyakinan dan praktik yang benar tidak
mendapatkan keselematan. Perbedaan mendasar antara Muslim yang berdosa dengan
kaum Non-Muslim adalah tingkatan neraka buat mereka. Persoalanya, sikap
penolakan ini berlanjut hingga didalam hidup di muka bumi. Orang puritan
menerima tanpa syarat terhadap status dhimmah bagi kaum Non-Muslim yang
hidup di wilayah Muslim. Menurut sistem dhimmah, kaum Non-Muslim harus
membayar pajak sebagai bayaran atas perlindungan dari Muslim dan hak untuk
tinggal di wilayah Muslim.[13]
Premisi
yang memotivasi orang2 puritan adalah bahwa islam harus menguasai
dan mendominasi. Dengan ini, kaum Muslim dapat meninggalkan status rendah
mereka.[14]
Yang memberikan andil pada kalangan puritan adalah keyakinan mereka yang
ekstrim yang meyakini bahwa semua yang lain celaka, termasuk Muslim itu sendiri
yang berbeda pemahaman, singga sikap ini bisa menjurus pada keyakinan arogan,
inilah yang dalam fakta digunakan untuk menjustifikasi perilaku tak manusiawi
dan bahkan kejam.[15]
Bagi moderat berbeda denga puritan. Menurut kalangan moderat al-Qur’an tidak
hanya menerima bahkan mengharapkan, realitas perbedaan dan keragaman dalam
masyarakat manusia. Dalam kalangan moderat tidak ada spirit dominasi dan
penguasaan kaum Non-Muslim. Faktanya bahwa Muslim dan Non-Muslim seharusnya
saling bahu-membahu menggalakkan kebaikan tidaklah berarti mencampur atau
melunturkan perbedaan, akan tetapi untuk menemukan kesamaan hingga dapat
ditegakkan keadilan di muka bumi.
Sikap
penting yang seharusnya dikembangkan ialah bagaimana dari perbedaan pendapat
itu dapat tercipta sebuah keharmonisan yang diupayakan untuk membentuk “Sebuah
pandangan yang merangkul”.[16]
Dalam agama kristen, pluralisme menjadi tantangan dalam membangun hubunngan
dengan agama lain. Namun demikian, terdapat pemikir kristiani yang bercorak
inklusif yang mengakui kahadiran Tuhan. Ia adalah seorang filosof agama dan
teolog ternama dari inggris, namanya ialah Jhon Hick. Dalam menggunakan analogi
disiplin astronomi ia mengemukakan suatu pendekatan teosentris yaitu suatu
peralihan dari dogma bahwa agama kristen berada dipusat kesadaran, Tuhan berada
dipusat, semua agama mengapdi dan mengitari-Nya.[17]
Pemikir kristiani Indonesia yang berparadigma pluralis adalah J.B. Banawiratma.
Menurutnya, agama Katolik memandang bahwasanya hubungan antar umat di
lingkungan Gereja Katolik sangatlah luas. Kenyataan ini merupakan tanda bahwa
hubungan antar umat tidak dianggap hal kecil, melainkan merupakan kepedulian
baik dari perspektif sosiologis maupun teologis. Oleh karena itu, paradigma
mengambil serius baik agama dan iman antar umat melalui perjumpaan visi dan
orientasi dari dialog dan transformasi yang mungkin dikembangkan.[18]
Pada
dasarnya setiap agama memiliki paradigma yang menganut pluralis dalam melihat
agama2 lain. Pemahaman pluralis ini memberikan kontribusi berharga
serta kesadaran untuk berinteraksi secara konstruktif dengan umat beragama
lainnya. Sumbangan pemikiran teologi religius mereka sangat berarti bagi
terciptanya kedamaian dalam kehidupan masyarakat yang plural. `
Kelebihan
Buku :
1.
Materi
yang terkandung memberikan semangat pada pembaca untuk dapat memahami arti
perbedaan.
2.
Mampu
menyajikan gambaran dan motivasi dalam proses mengenal antar agama.
3.
Secara
fisik, penampilan buku menarik dan rinci dengan bahan yang cukup bagus.
Kekurangan
Buku :
1.
Secara
implisit, sistematika penulisan kurang diperhatikan.
2.
Buku
tersebut terkesan monoton atau terpaku pada titik yang sama dan banyak kata
yang terulang kembali.
3.
Dalam
buku tersebut terdapat bahasa yang sulit dipahami oleh pembaca.
Berkenaan
tentang pendapat pribadi terhadap isi buku, dapat di simpulkan bahwa :
1.
Buku
yang ditulis cukup memberikan pemahaman terhadap pembaca terhadap arti
perbedaan untuk saling mengerti dan toleransi.
2.
Suatu
yang perlu dikaji lagi dalam pembahasan di buku ini adalah bagaimana upaya seseorang
dalam meningkatkan mutu kemanusiaan dengan pluralisme tanpa condong terhadap
satu pihak saja, sehingga mampu membentuk insan yang kamil.
3.
Dalam
buku yang terdapat banyak perbandingan antar agama, mempermudah pembaca untuk
mengenal dan mendalami maksud dan tujuan isi buku.
[4] Budhy Munawar-Rochman, Islam
Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramedia, 2001), h. 31.
[7] Atang Abdul Hakim dan Jail
Mubarok, Metodologi studi Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h.
57.
[10] Ali Mudhofir, Kamus Teori
dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1996),
h. 188.
[11] Sayyid Husein,
“introduction” dalam Frithjof Schuon, Islam and The Perennial Philosophy,
terj. J. Peter Hobson (London: World of Islam festival Publishing Company,
1976), h. 7.
[13] Khaled El Fadl, Selamatkan
Islam dari Muslim Puritan, terj Helmi Musthofa (Jakarta: Serambi, 2006), h.
245-246.
[18] J.B. Banawiratma, Bersama
Saudara-saudari Beriman Lain, perspektif Gereja Katolik, dkk. Dialog: Kritik
dan Identitas Agama, cet. III (Yogyakarta: Dian Interfidei, 2004), h.
18-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar