Powered By Blogger

Selasa, 26 April 2016

Resensi Islam Pluralisme



Nama                           : MOH DURRUL AINUN NAFIS                 
NIM                             : (C01215020)
Prodi                            : Ahwal Al Syahksiyah
Dosen Pengajar            : Drs. Ita Musarrofa MHI. M.Ag.
Review Buku               : Islam Dan Pluralisme Agama
Penulis Buku               : Dr. Ngainun Naim
Diterbitkan oleh          : Aura Pustaka Yogyakarta
Dicetak oleh                : Lingkar Media Kotagede Yogyakarta
Spesifikasi Buku         : xiv + 253 hlm; 16 x 24 cm
Cetakan                       : Ke-3 pada Juli 2015
ISBN                           : 978-602-9969-88-7




 
DINAMIKA PEREBUTAN MAKNA
ANTARA ISLAM DAN PLURALISME AGAMA

Sebelum membangun pemahaman yang lebih komprehensif terhadap makna pluralisme, perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam tentang pengertian agama karena dalam kehidupan masyarakat didampingi dengan agama sebagai penuntun hidup. Implikasinya, definisi agama masih abnyak menjadi perdebatan dan sulit untuk dibuat rumusan yang bisa disepakati oleh semua pihak, sehingga tidak salah jika W.H. Clark menyatakan bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat digunakan untuk membuat definisi agama. Clark berpendapat bahwa pengalaman agama adalah subjectif, intern, dan individual. Oleh karenanya umumnya orang lebih condong untuk mengaku beragama, kendati ia tidak menjalankan ajaran agama tersebut karena setiaporang merasakan pengalaman beragama yang berbeda-beda.[1]

Kesulitan dalam mendefinisikan agama kemudian melahirkan beberapa cara untuk dapat memahaminya, salah satunya ialah dengan melacak asal-usul sejarah dan makna dasarnya. Secara etimologi, “agama” diambil dari bahasa sansakerta yang bermakna sistem kepercayaan dalam Hinduisme dan Buddisme. Secara terminologi, “Agama” terdiri dari kata “A” yang berarti “Tidak” dan kata “Gama” ang berarti “Kacau”. Sehingga dengan demikian agama dapat diartikan aturan atau tatanan untuk mencegah kekacauan dalam kehidupan manusia.[2]

Pengertian berbeda dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa agama didefinisikan sebagai: (1) Pengakuan terhadap aturan Tuhan yang harus dipatuhi (2) Pengakuan terhadap Tuhan yang berkuasa atas manusia (3) Mengikatkan diri manusia terhadap penciptaan Tuhan (4) Kepercayaan terhadap Tuhan menimbulkan cara hidup tertentu (5) Suatu tingkah laku berasal dari Tuhan (6) Pengakuan terhadap adanya kewajiban2 yang harus di yakini (8) Pemujaan terhadap Tuhan (9) Ajaran2  yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui perantaranya. Dalam cakupan yang lebih terperinci agama memiliki fungsi motivatif, kreatif dan inovatif, integratif, dan sublimatif. Sehingga agama tidak akan lepas dari adanya prilaku manusia untuk saling mendukung serta toleransi. Cakupan tersebut dapat ditinjau dari faham pluralisme yang katanya berasal dari kata plural  (banyak) atau bentuk kata lainya “form of word used with reference to more than one”.[3] Namun dalam substansinya, pluralisme termanifestasi dalam sikap untuk saling menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan. Wacana pluralisme dalam realitasnya membangun pertalian sejatinkebhinekaan dalam ikatan keadaban. Bahkan dikatakan pluralisme merupakan keharusan bagi keselamatan umat manusia yang diantaranya dapat dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan diantara kelompok masyarakat.[4]

Kata pluralisme memiliki makna yang beragam dan bentuk yang luas selain pluralisme agama seperti pluralisme budaya, sosial, ekonomi, hukum dan sebagainya. Nilai2 pluralisme memiliki akar yang cukup kuat dalam ajaran islam. Seperti dalam Al-Qur’an dan AS-Sunnnah  kedua sumber pokok tersebut mengajarkan tentang keharusan mengembangkan pluralisme seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an :
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki2  dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.....”.
(Q.S. Surat Al-Hujurat (49) ayat 13).

Secara prinsip, ada beberapa hal mendasar yang harus ditegaskan tentang pluralisme agama, yaitu sebagai berikut :
1)     Pluralisme agama memiliki tujuan terciptanya harmoni. Pemahaman secara objektif terhadap realitas keagamaan bukan bertujuan untuk menyatukan terhadap keragaman, sebab keragaman merupakan usaha yang mereduksi identitas ang unik dari masing2  agama.
2)     Pluralisme agama berikhtiar untuk mencari dimensi yang memungkinkan terciptanya konvergensi bukan konsensus.
3)     Pluralisme agama mengedepankan kepercayaan bukan persetujuan.

===============================================================
- PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI -

Teologi secara etimologis berasal dari kata “theos” yang berarti Tuhan, dan “logos” yang berarti ilmu.[5] Sedangkan secara terminologis, teologi adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan dan segala sesuatu yang terkait denganya, hubungan manusia denga Tuhan serta hubungan Tuhan dengan manusia.[6] Teologi bukan berasal dari khazanah tradisi islam melainkan berasal dari tradisi gereja kristiani. Namun demikian, kata teologi masuk ke khazanah islam dan mengalami perluasan makna.

Teologi mengandung dua kelompok ajaran, yaitu ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui rasul2nya kepada umat manusia dan pejelasan2 para pemuka atau pakar agama ang membentuk ajaran agama. Ajaran tersebut bersifat absolut, mutlak, tidak berubah dan tidak bisa dirubah. Tetapi menurut ahli agama bersifat relatif, nisbi, bisa berubah, dan dapat diubah sesuai perkembangan zaman.[7] Dilihat dari struktur ilmu pengetahuan, teologi mencakup kriteria saintifik yaitu penggunaan akal dengan segala kemampuan analisisnya,generalisasinya, dan hukum2 penarikan kesimpulan terhadap data pengalaman. Dengan demikian, ada satu faktor yang mendasar yang membedakan antara teologi dengan pengetahuan ilmiah pada umumnya, yaitu teologi mendasarkan diri kepada wahyu Tuhan sedangkan ilmu pengetahuan mendasarkan indrawi dan pemikiran rasional. Namun jika ditinjau dari aspek subjek dan objeknya ternyata ada kesamaan, yaitu : subjeknya sama2  yaitu manusia dan objek pembahasanya sama yaitu  Tuhan.[8]

            Menurut Raimundo Panikkar ada tiga macam sikap keagamaan manusia : eksklusif, inklusif, dan plural. Sikap eksklusif artinya seseorang menganggap bahwa hanya agamanya saja yang benar sementara yang lain salah. Sikap inklusif artinya seseorang yang beranggapan bahwa agamnya yang paling benar tetapi agama yang lain mengandung kebenaran. Sikap plural artinya seseorang menganggap bahwa semua agama sama dan mengandung kebenaran masing-masing.[9]

            Pluralismeagama sering diterima sebagai Pluralisme de facto, yaitu suatu bentuk pengakuan pluralisme yang hanya sementara dan manusia secara bertahap akan menemukan kebenaran agama. Pluralisme seperti ini sangat rentan dengan ketegangan dan konflik, karena konsep itu hanya menangguhakan suatu bentuk kompetisi dalam maslaah superioritas agama, tetapi tidak memecahkan masalah.

            Seharusnya seseorang dikatakan “Orang itu baik berkat agama yang dianutnya”. Nilai dan kekhasan agama lain sungguh dihargai. Ini merupakan titik tolak pluralisme yang lebih dalam yaitu Pluralisme de jure. Pluralisme ini sangat mendasar karena perdebatan merupakan sarana untuk bisa mengungkapkan kekayaan misteri Tuhan.

Perbedaan agama bukan untuk dipertentangkan, tetapi yang menjadi tantangan untuk dijawab. Mempertentangkan perbedaan jelas akan memicu adanya konflik. Perbedaan harus dilihat sebagai realitas yang harus sikapi secara konstruktif. Pandangan tersebut sebagai bentuk semangat humanitas dan universalitas. Pandangan pluralisme semacam ini diharapkan akan menumbuhkan kesadaran bersama untuk saling menghormati dan menghargai, meskipun agama yang dianut berbeda-beda.
 ================================================================
-PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT-

Dalam perspektif filsafat, pluralisme merupakan paham yang beranggapan bahwa realitas itu tidak hanya terdiri dari satu substansi atau dua substansi, melainkan terdiri dari bnayak substansi.[10] Pandangan filosof terhadap pluralisme terus mengalami perkembangan. Pada masa skolastik, muncul persoalan yaitu bagaimana pluralitas dapat terjadi? Padahal Tuhan itu satu, samentara dalam kenyataannya hidup di dunia mencerminkan adanya pluralitas. Ada tiga alternatif untuk menghadapi pluralisme agama. Pertama, anggapan bahwa hanya satu agama yang benar. Kedua, sikap acuh tak acuh, sikap ini beranggapan bahwa bukan hanya satu agama yang benar tetapi agama tidak lebih benar dari yang lain. Ketiga, Hanya agama sendiri yang benar atau segala agama benar.

            Ditinjau dari sudut bahasa, kata “filsafat” berarti kekal, abadi, atau selamanya. Sementara ditinjau dari perspektif terminologis, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyid Husein Nasr bahwa filsafat sebagai suatu kebenaran abadi dan kekal didalam semua pusat tradisi  suci, menyangkut adanya doktrin dan ajaran metafisika yang bersifat universal.[11] Menurut pemikiran Ficino ada aspek penting tentang filsafat yang harus difahami yaitu bahwa filsafat dan teologi berasal dari satu sumber yang disebut sebagi puncak kebenaran (The Fountain Of  Truth). Baginya filsafat sejati adalah Platonisme dan teologi yang berkembang sejak dahulu, diduga sejak dari Nabi Musa.

            Pada abad ke-19 dan 20, terdapat filsafat parennial yaitu filsafat yang mengandung trans-histotis kuat. Istilah filsafat parennial mulai populer di Barat karena karya yang di buat oleh Aldous Huxley yang berisi tentang eksistensi dan kebijaksanaan parennial abadi melalui pilihan atas sejumlah ucapan yang diambil dari berbagai tradisi. Ditinjau dari perspektif filsafat parennial, pluralisme gama merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini karena pluralisme merupakan bagian dari hukum Tuhan yang tidak mungkin untuk dihapuskan. Pendekatan parennial terhadap agamaditandai dengan sudut pandang yang baik, yaitu senantiasa menghubungkanya dengan substansi agama. Sehingga filsafat parennial memberikan apresiasi dan pandangan yang positif.

===============================================================
PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA

Ditinjau dari perspektif  islam, esensinya islam memandang manusia dan kemanusiaan secara sangat positif dan optimis. Berasal dari nenek moyang yang sama, namun kemudian manusia menjadi bersuku-suku, berkaum-kaum, dan berbangsa-bangsa lengkap dengan kebudayaan dan peradaban khas masing2. Semua perbedaan ini mendorong mereka untuk saling mengenal, menumbuhkan apresiasi dan respek satu sama lain. Perbedaan diantara umat manusia, dalam pandangan isla bukanlah karena warna kulit dan bangsa tatapi hanya tergantung pada tingkat ketakwaan masing2. Inilah yang menjadi perspektif islam tentang “Kesatuan umat manusia yang pada gilirinya akan mendorong berkembangnya solidaritas antar manusia”.[12]

Dalam membangun relasi antara Muslim da Non-Muslim, hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan dialog secara konstruktif. Dialog semacam ini dapat dilandasi oleh sikap yang saling menghormati antar umat beragama. Berkaitan dengan pandangan islam terhadap pluralisme agama, pemikir intelektual Khaled M. Abou El Fadl berpendapat bahwa relasi Muslim da Non-Muslim memiliki akar problematika, tetapi problematika tersebut karena didalam kalangan umat islam sendiri terdapat perbedaan cara pandang terkait dengan hubungan itu sendiri, keselamatan dan siksa neraka. Umat islam terpecah menjadi dua yaitu puritan dan moderat. Bagi puritan, keselamatan di Hari Akhir hanya dimiliki oleh kaum Muslim. Umat islam yang tidak memeluk keyakinan dan praktik yang benar tidak mendapatkan keselematan. Perbedaan mendasar antara Muslim yang berdosa dengan kaum Non-Muslim adalah tingkatan neraka buat mereka. Persoalanya, sikap penolakan ini berlanjut hingga didalam hidup di muka bumi. Orang puritan menerima tanpa syarat terhadap status dhimmah bagi kaum Non-Muslim yang hidup di wilayah Muslim. Menurut sistem dhimmah, kaum Non-Muslim harus membayar pajak sebagai bayaran atas perlindungan dari Muslim dan hak untuk tinggal di wilayah Muslim.[13]

Premisi yang memotivasi orang2 puritan adalah bahwa islam harus menguasai dan mendominasi. Dengan ini, kaum Muslim dapat meninggalkan status rendah mereka.[14] Yang memberikan andil pada kalangan puritan adalah keyakinan mereka yang ekstrim yang meyakini bahwa semua yang lain celaka, termasuk Muslim itu sendiri yang berbeda pemahaman, singga sikap ini bisa menjurus pada keyakinan arogan, inilah yang dalam fakta digunakan untuk menjustifikasi perilaku tak manusiawi dan bahkan kejam.[15] Bagi moderat berbeda denga puritan. Menurut kalangan moderat al-Qur’an tidak hanya menerima bahkan mengharapkan, realitas perbedaan dan keragaman dalam masyarakat manusia. Dalam kalangan moderat tidak ada spirit dominasi dan penguasaan kaum Non-Muslim. Faktanya bahwa Muslim dan Non-Muslim seharusnya saling bahu-membahu menggalakkan kebaikan tidaklah berarti mencampur atau melunturkan perbedaan, akan tetapi untuk menemukan kesamaan hingga dapat ditegakkan keadilan di muka bumi.

Sikap penting yang seharusnya dikembangkan ialah bagaimana dari perbedaan pendapat itu dapat tercipta sebuah keharmonisan yang diupayakan untuk membentuk “Sebuah pandangan yang merangkul”.[16] Dalam agama kristen, pluralisme menjadi tantangan dalam membangun hubunngan dengan agama lain. Namun demikian, terdapat pemikir kristiani yang bercorak inklusif yang mengakui kahadiran Tuhan. Ia adalah seorang filosof agama dan teolog ternama dari inggris, namanya ialah Jhon Hick. Dalam menggunakan analogi disiplin astronomi ia mengemukakan suatu pendekatan teosentris yaitu suatu peralihan dari dogma bahwa agama kristen berada dipusat kesadaran, Tuhan berada dipusat, semua agama mengapdi dan mengitari-Nya.[17] Pemikir kristiani Indonesia yang berparadigma pluralis adalah J.B. Banawiratma. Menurutnya, agama Katolik memandang bahwasanya hubungan antar umat di lingkungan Gereja Katolik sangatlah luas. Kenyataan ini merupakan tanda bahwa hubungan antar umat tidak dianggap hal kecil, melainkan merupakan kepedulian baik dari perspektif sosiologis maupun teologis. Oleh karena itu, paradigma mengambil serius baik agama dan iman antar umat melalui perjumpaan visi dan orientasi dari dialog dan transformasi yang mungkin dikembangkan.[18]

Pada dasarnya setiap agama memiliki paradigma yang menganut pluralis dalam melihat agama2 lain. Pemahaman pluralis ini memberikan kontribusi berharga serta kesadaran untuk berinteraksi secara konstruktif dengan umat beragama lainnya. Sumbangan pemikiran teologi religius mereka sangat berarti bagi terciptanya kedamaian dalam kehidupan masyarakat yang plural. `
Kelebihan Buku :
1.      Materi yang terkandung memberikan semangat pada pembaca untuk dapat memahami arti perbedaan.
2.      Mampu menyajikan gambaran dan motivasi dalam proses mengenal antar agama.
3.      Secara fisik, penampilan buku menarik dan rinci dengan bahan yang cukup bagus.
Kekurangan Buku :
1.      Secara implisit, sistematika penulisan kurang diperhatikan.
2.      Buku tersebut terkesan monoton atau terpaku pada titik yang sama dan banyak kata yang terulang kembali.
3.      Dalam buku tersebut terdapat bahasa yang sulit dipahami oleh pembaca.
Berkenaan tentang pendapat pribadi terhadap isi buku, dapat di simpulkan bahwa :
1.      Buku yang ditulis cukup memberikan pemahaman terhadap pembaca terhadap arti perbedaan untuk saling mengerti dan toleransi.
2.      Suatu yang perlu dikaji lagi dalam pembahasan di buku ini adalah bagaimana upaya seseorang dalam meningkatkan mutu kemanusiaan dengan pluralisme tanpa condong terhadap satu pihak saja, sehingga mampu membentuk insan yang kamil.
3.      Dalam buku yang terdapat banyak perbandingan antar agama, mempermudah pembaca untuk mengenal dan mendalami maksud dan tujuan isi buku.


[1]    Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, cet. XIII (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.3.
[2]    Departemen Agama RI, Ilmu Perbadingan Agama (Jakarta: Proyek Pembinaan PT/IAIN, 1981), h. 51.
[3]    Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h. 59-60.
[4]    Budhy Munawar-Rochman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramedia, 2001), h. 31.
[5]    Ahmad Arifin, Pengantar Theology Islam, cet. V (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), h.11.
[6]    Amsal Bachtiar, Filsafat Agama Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 18.
[7]    Atang Abdul Hakim dan Jail Mubarok, Metodologi studi Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 57.
[8]    Amsal Bachtiar, Filsafat, h. 19.
[9]    Raimundo Panikkar, Intrareligious Dialogue (New York: Paulist Press, 1999), h.15.
[10]    Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996),
 h. 188.
[11]    Sayyid Husein, “introduction” dalam Frithjof Schuon, Islam and The Perennial Philosophy, terj. J. Peter Hobson (London: World of Islam festival Publishing Company, 1976), h. 7.
[12]    Azyumardi Azra, Konteks Barteologi di Indonesia, h. 32.
[13]    Khaled El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj Helmi Musthofa (Jakarta: Serambi, 2006), h. 245-246.
[14]    Ibid, h. 247-248.
[15]    Ibid, h. 258.
[16]    Huston Smith, Bayond the Postmodern Mind (Wheaton USA: Queast Books, 1989), h. 232.
[17]    Charles Kimball, Kala Agama jadi Bencana terj. Nurhadi (Bandung: Mizan, 2003), h. 300.
[18]    J.B. Banawiratma, Bersama Saudara-saudari Beriman Lain, perspektif Gereja Katolik, dkk. Dialog: Kritik dan Identitas Agama, cet. III (Yogyakarta: Dian Interfidei, 2004), h. 18-19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar